Sabtu, 13 April 2019|23:53:03 WIB
RADARRIAUNET.COM: KETUA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo pada Jumat (12/4) mengumumkan kekayaan para peserta pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) 2019.
Ada empat nama yang diumumkan, yakni pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin serta Prabowo Subianto serta Sandiaga Salahuddin Uno.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Capres 01 Jokowi memiliki total kekayaan Rp50,2 miliar per 14 Agustus 2018. Di tanggal yang sama, Ma'ruf Amin melaporkan kekayaan Rp11,6 miliar.
Adapun Capres Prabowo berdasarkan laporan kekayaan per 9 Agustus 2018 mencapai Rp1,9 triliun. Sedangkan Sandiaga per 14 Agustus 2018 memiliki kekayaan hingga Rp5,09 triliun.
Laporan harta Jokowi bila dibandingkan dengan laporan sebagai Presiden pada 31 Desember 2014, terjadi peningkatan Rp20,2 miliar. Berdasarkan laporan sebelumnya, Jokowi memiliki harta Rp30 miliar dan US$30 ribu.
Prabowo, hartanya juga meningkat bila dibandingkan laporan pada 20 Mei 2014 sebagai calon presiden dengan harta mencapai Rp1,6 triliun. Peningkatannya mencapai Rp281,6 miliar. Dalam LHKPN sebelumnya, Prabowo juga memiliki harta berupa mata uang asing sebanyak US$7.503.134.
Adapun Sandiaga, pada 29 September 2016 melaporkan LHKPN sebagai calon wakil gubernur dengan harta sebanyak Rp3,8 triliun dan US$10.347.381. Artinya, harta Sandiaga dalam tempo kurang dari 2 tahun meningkat Rp1,2 triliun.
Dari empat nama itu, hanya Ma'ruf Amin yang tidak memiliki latar belakang dunia usaha. Ma'ruf Amin lebih banyak berlatar belakang di dunia pendidikan dan yayasan. Calon Presiden (Capres) 01 petahana Jokowi, Capres Prabowo Subianto serta pasangannya Sandiaga Uno memiliki jejak di dunia bisnis.
Jokowi sebagai pengusaha mebel asal Surakarta, Jawa Tengah, sebelum menjabat wali kota. Prabowo menjabat presiden direktur dan komisaris utama di beragam perusahaan. Adapun Sandiaga pernah menjabat Executive Vice President, advisor, hingga CEO di beragam perusahaan.
Guru besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti dalam bukunya yang berjudul Memahami Ilmu Politik menggambarkan kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, massa yang terorganisasi, dan jabatan sebagai sumber kekuasaan.
Akan tetapi, seseorang yang memiliki sumber kekuasaan tersebut belum tentu menjadi memiliki kekuasaan juga. Seseorang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila memiliki sumber-sumber kekuasaan. Sebaliknya, seseorang dipandang memiliki kekuasaan aktual apabila telah menggunakan sumber-sumber yang dimiliki ke dalam kegiatan politik secara efektif (mencapai tujuannya).
Ramlan menggambarkan seorang jutawan mempunyai kekuasaan potensial, tetapi hanya dapat disebut sebagai memiliki kekuasaan aktual apabila telah menggunakan kekayaannya untuk memengaruhi para pembuat dan pelaksana keputusan politik secara efektif.
Jokowi adalah sosok yang memiliki kekuasaan aktual. Meskipun, sumber kekuasaannya sebenarnya dapat dikatakan tidak terlalu meyakinkan. Bila mengacu pada Pilpres 2014, Jokowi hanya memiliki satu sumber kekuasaan, yakni jabatan selaku Gubernur DKI Jakarta. Dia bukan ketua umum maupun pendiri parpol. Jokowi juga belum masuk jajaran pengusaha terkaya di Indonesia. Dan yang pasti, dia bukanlah bagian dari kekuatan bersenjata.
Akan tetapi, dia bisa mengajak sejumlah ketua umum partai politik (parpol) untuk memperkuat Koalisi Indonesia Hebat. Seperti, Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP Partai NasDem Surya Paloh, Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto, dan Ketua Umum DPP PKPI Sutiyoso.
Pada 2014, Jokowi juga berhadapan dengan Prabowo yang saat itu berpasangan dengan Hatta Rajasa. Prabowo adalah ketua umum dan pendiri Partai Gerindra, sedangkan Hatta adalah Ketua Umum DPP PAN. Sehingga, otomatis kedua parpol itu memperkuat barisan pendukung. Selain itu, ada PPP, PKS, PBB, dan Partai Golkar. Walaupun, seiring waktu berjalan, sejumlah parpol pun beralih.
Direktur Soegeng Sarjadi Syndicate – yang menjadi tim ahli tim kampanye pasangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 – Sukardi Rinakit menggambarkan sejumlah karakteristik kekuatan sosok Jokowi. Seperti, gaya blusukan, dukungan jutaan 'pasukan yang tidak terlihat' yang bergerak di dunia maya, hingga dukungan para mosesin.
Sukardi mengutip istilah mosesin dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia era 1978-1983 Daoed Joesoef, dari kisah Nabi Musa yang mengantarkan penerusnya ke tanah perjanjian. Tetapi, dirinya sendiri tidak memasuki wilayah itu untuk menjadi pemimpin. Tugas sejarah para mosesin adalah mengantar pemimpin yang baik demi memandu bangsanya.
Rinakit, dalam tulisannya yang berjudul Sopo Sing Gelem Tak Dongengi (Siapa yang Mau Saya Dongengi), 2014, menilai kekuatan Jokowi adalah secara naluriah mengadopsi pendekatan modern. Seperti, tipping point yang dipopulerkan oleh Malcolm Gladwell.
Jokowi, secara insting, piawai menciptakan virus yang menyebar menjadi dongeng. Semasa kampanye, Jokowi kerap memerintahkan memperlambat laju kendaraan untuk bisa menyebarkan kaos kepada orang-orang di pinggir jalan. Dan orang-orang yang menerima kaos itu akan mengisahkan kejadian itu dan menekankan frasa 'menerima langsung dari tangan Jokowi.'
Penulis: Henri Siagian/MI