Selasa, 09 April 2019|00:36:25 WIB
RADARRIAUNET.COM: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempublikasikan nama-nama anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD seluruh Indonesia yang telah dan belum melaporkan LHKPN. Di Riau, ada 255 anggota DPRD yang belum melapor.
Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah, mengatakan, 255 legislator itu berasal dari DPRD Riau dan DPRD kabupaten/kota di Riau. "Jumlahnya ada 255 orang," ujar Febri, Senin (8/4/2019) dikutip dari cakaplah.com.
Febri mengatakan, di DPRD Riau ada 4 orang legislator yang belum melaporkan LHKPN. Sisanya sebanyak 251 orang dari DPRD kabupaten/kota.
"DPRD Provinsi, 94 persen atau 60 orang sudah melapor. DPRD kabupaten/kota Kota 46 persen atau sebanyak 215 orang sudah melapor (LHKPN)," ungkap Febri.
Untuk DPRD Riau dan kabupaten/kota ada 531 wajib lapor LHKPN. Dari presentasi yang belum melapor, kata Febri, tingkat kepatuhan masih rendah.
"Nilainya masih rendah yaitu 52 persen. Artinya baru 275 orang yang melaporkan LHKPN-nya secara tepat waktu, per tanggal 31 Maret lalu," kata Febri.
Untuk secara umum, ungkap Febri, dari 18.419 orang wajib lapor, tingkat kepatuhan adalah 70 persen atau 12.880 orang. Sementara yang belum lapor berjumlah 5.539 orang.
"Untuk informasi lebih lengkap dapat dilihat melalui website KPK di alamat: https://kpk.go.id/id/pantau-lhkpn," pungkas Febri. KPK menilai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat menjadi pintu masuk bagi penegak hukum dan Direktorat Jenderal Pajak untuk menelusuri harta milik penyelenggara negara yang tidak wajar.
"Kita ingin mengejar harta-harta yang diperoleh tidak sah. Kita lihat income-nya, kalau meragukan kita panggil orangnya dan suruh membuktikan.
"Di Hong Kong sudah begitu. Dia (Independent Commission Against Corruption atau lembaga antikorupsi Hong Kong) mendapat laporan kekayaan, kemudian dibandingkan pendapatannya dan bila perbedaannya tinggi, maka dia (ICAC) tuntut dan di pengadilan harus dibuktikan. Itu idealnya.
"Kita kasih data LHKPN ke Ditjen Pajak. Ditjen Pajak bisa lihat yang tidak wajar ditulisi hibah ini itu, nah silakan diberi pajak hibahnya.
KPK mengaku selama ini masih banyak penyelenggara negara yang enggan untuk menyerahkan LHKPN ke KPK dengan berbagai alasan.
Setelah seorang penyelenggara negara menyerahkan LHKPN, selanjutnya, KPK akan mengirim surat ke bank, Badan Pertanahan Nasional dan e-Samsat (Dispenda).
"Ke bank saya tanya ini orang rekeningnya mana saja? Isinya berapa? Ke BPN saya tanya ada tidak sertifikat atas nama ini orang, istri atau anaknya? Ke Samsat saya tanya ada tidak kendaraan atas nama ini orang. Dapat datanya lalu kita bandingkan dengan yang dilaporkan.
Saat ini, ada sejumlah peraturan yang mengatur mengenai pelaporan LHKPN yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi; Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: KEP. 07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara; Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi; dan Surat Edaran Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Berdasarkan ketentuan tersebut, ada sejumlah kewajiban bagi para penyelenggara negara yaitu (1) Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan sesudah menjabat; (2) Melaporkan harta kekayaannya pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi dan pension; (3) Mengumumkan harta kekayaannya.
Penyelengara negara yang wajib menyerahkan LHKPN adalah: (1) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; (2) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; (3) Menteri; (4) Gubernur; (5) Hakim; (6) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (7) Direksi, Komisaris dan pejabat structural lainnya sesuai pada BUMN dan BUMD; (8) Pimpinan Bank Indonesia; (9) Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; (10) Pejabat Eselon I dan II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; (11) Jaksa; (12). Penyidik; (13) Panitera Pengadilan; dan Pemimpin dan Bendaharawan Proyek; (14) Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan; (15) Pemeriksa Bea dan Cukai; (16) Pemeriksa Pajak; (17) Auditor; (18) Pejabat yang mengeluarkan perijinan; (19) Pejabat/Kepala Unit Pelayanan Masyarakat; dan (20) Pejabat pembuat regulasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat menjadi pintu masuk bagi penegak hukum dan Direktorat Jenderal Pajak untuk menelusuri harta milik penyelenggara negara yang tidak wajar.
Saat ini, ada sejumlah peraturan yang mengatur mengenai pelaporan LHKPN yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme.
Berdasarkan ketentuan tersebut, ada sejumlah kewajiban bagi para penyelenggara negara yaitu (1) Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan sesudah menjabat; (2) Melaporkan harta kekayaannya pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi dan pension; (3) Mengumumkan harta kekayaannya, kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan beberapa waktu lalu kepada media.
KPK Sindir DPR: Bikin UU LHKPN tapi Anggotanya Terendah Lapor Harta
KPK kembali melempar sindiran bagi para wakil rakyat di Senayan. Sebab, data KPK menyebutkan anggota DPR menjadi yang paling rendah dalam pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
"Itu kan undang-undang dibuat DPR. Kalau DPR juga yang tidak melaporkan harta kekayaannya, artinya tidak menjalankan undang-undang yang mereka bikin sendiri," ucap Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, baru baru ini.
Undang-Undang (UU) yang dimaksud Syarif yaitu UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Urusan LHKPN memang tercantum dalam aturan tersebut, tepatnya pada Pasal 5 ayat 2 dan ayat 3 yang berbunyi 'Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat serta melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat'.
Selain itu kewajiban tentang LHKPN juga termuat dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Syarif pun menyebut penyetoran LHKPN sebagai bentuk transparansi bagi para pejabat.
"Kita sangat berharap LHKPN itu disetorkan, dilaporkan ke KPK. Itu juga menunjukkan niat mengikuti semua regulasi yang ada di Indonesia," ucapnya.
Padahal batas waktu penyerahan LHKPN 31 Maret 2019. Adapun harta yang dilaporkan adalah perkembangan kekayaan selama 2018 dan seluruh harta yang dimiliki bagi wajib lapor yang baru pertama kali melaporkan.
Saat ini, masih banyak pejabat sembunyikan harta mencurigakan dengan cara membeli properti
Banyak pejabat daerah yang bermasalah dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). saat dikroscek, seringkali didapati harta kekayaan itu tak wajar dengan profil pekerjaannya, kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkap di kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
“Kalau pendapatan dibanding harta tidak seimbang, sistem sudah nyala dan pemeriksa turun," kata Pahala kepada awak media beberapa waktu, seperti dikutip dari ayonews.com, Senin 8 April 2019.
Lanjut Pahala mengatakan kebanyakan harta yang tidak wajar dimiliki yaitu di bagian properti. Menurutnya, orang Indonesia lebih memilih investasi melalui properti.
“LHKPN cuma motret harta kalau harta banyak kan bisa saja dari banyak hal kaya korupsi. KPK kan nanganin korupsi saja.
Berbagai sumber