Jelang Rapat Dewan Gubernur BI, Saham Bank Jadi Primadona
Ilustrasi. cnni pic

Jelang Rapat Dewan Gubernur BI, Saham Bank Jadi Primadona

Senin, 18 Maret 2019|11:05:36 WIB




Jakarta: Saham perbankan berkapitalisasi besar (big capitalization/big cap) bakal menjadi primadona sepanjang pekan ini. Bank Indonesia (BI) yang diramalkan tak mengerek atau menahan suku bunga acuan di level 6 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 20-21 Maret 2019 akan menambah angin segar untuk sektor keuangan.

Analis Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan mengatakan bank sentral nasional umumnya akan mengikuti langkah The Fed. Selama bank sentral Amerika Serikat (AS) itu belum menaikkan suku bunga acuan, maka BI juga mempertahankan posisi suku bunganya sekarang.

"Selain karena The Fed, inflasi juga masih pada kisaran 3 persen. Masih lebih rendah dari asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 di level 3,5 persen," ungkap Valdy seperti sitat CNNIndonesia.com, Senin (18/3/2019).


Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2019 terjadi deflasi sebesar 0,08 persen secara bulanan dan inflasi 2,57 persen secara tahunan. Sebaliknya, Januari 2019 terjadi inflasi sebesar 0,32 persen secara bulanan dan 2,82 persen secara tahunan.

Diketahui, beberapa indikator yang mempengaruhi BI dalam menurunkan, menahan, dan menaikkan suku bunga acuan, yakni pertumbuhan ekonomi dalam negeri, neraca pembayaran, neraca perdagangan, cadangan devisa (cadev), nilai tukar rupiah, dan inflasi. Selain itu, BI juga akan melihat kondisi ekonomi global.

Lebih lanjut Valdy menjelaskan beberapa saham yang bisa direkomendasikan adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI). Saham-saham itu mencetak kinerja cemerlang sepanjang 2018.

"Secara keseluruhan ketiganya memiliki kinerja di atas atau setidaknya sejalan dengan sektor perbankan Indonesia," ucapnya.

Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan penyaluran kredit perbankan pada 2018 sebesar 11,75 persen menjadi Rp5.294,88 triliun. Realisasi ini melesat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya meningkat satu digit, yakni 8,24 persen.


Bila dilihat, kinerja pertumbuhan penyaluran kredit ketiga bank tadi memang meningkat di atas industri. BNI misalnya, jumlah kredit yang disalurkan pada 2018 meningkat 16,2 persen dari Rp441,31 triliun menjadi Rp512,78 triliun.

Kemudian, Bank Mandiri mencatat kreditnya tumbuh 12,4 persen menjadi Rp820,1 triliun pada 2018 dari tahun sebelumnya Rp729,5 triliun. Terakhir, total kredit yang disalurkan BRI pada 2018 sebesar Rp843,6 triliun atau naik 14,1 persen dari tahun sebelumnya Rp739,3 triliun.

"Untuk saat ini, dengan kecenderungan pengetatan likuiditas dan penyaluran kredit yang sedang membaik, keputusan mempertahankan suku bunga acuan adalah yang terbaik," papar Valdy.

Apalagi, salah satu saham yang masuk dalam rekomendasi tadi, yakni Bank Mandiri terpantau lesu dalam satu bulan terakhir. Data RTI Infokom menunjukkan saham Bank Mandiri terkoreksi 1,05 persen dalam kurun waktu tersebut.


Maka itu, Valdy melihat jika BI mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen dalam RDG bulan ini, maka akan menjadi momentum yang positif untuk saham Bank Mandiri.

"Khusus Bank Mandiri sudah terkoreksi cukup dalam satu bulan terakhir. Namun dalam satu pekan terakhir ada indikasi bangkit memang," terang dia.

Terpantau, saham BNI, Bank Mandiri, dan BRI melesat pada akhir pekan lalu, Jumat (15/3). BRI menjadi saham dengan kenaikan tertinggi, yaitu 2,84 persen ke level Rp3.980 per saham. Diikuti saham Bank Mandiri yang terkerek 2,53 persen ke level Rp7.100 per saham dan BNI 2,26 persen ke level Rp9.050 per saham.

"(Target harga) saham BRI Rp4.000-Rp4.200 per saham, BNI Rp9.100-Rp9.250 per saham, dan Bank Mandiri Rp7.300 per saham," jelasnya.


Laba Kinclong

Selain saham perbankan, Kepala Riset Paramitra Alfa Sekuritas Kevin Juido mengatakan pelaku pasar bisa membeli saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Saham perusahaan tersebut cukup menguntungkan karena perusahaan berhasil membukukan laba bersih pada 2018 setelah merugi tahun sebelumnya.

Tercatat, keuntungan yang diraup perusahaan tahun lalu sebesar US$60,51 juta, sedangkan pada 2017 merugi US$15,27 juta. "Kenaikan laba bersih perusahaan ini karena pendapatan yang juga tumbuh dari yang hanya US$629,33 juta, terus pada 2018 menjadi US$776,9 juta," ucap Kevin.

Selain itu, harga komoditas nikel terus meningkat sejak awal tahun hingga akhir pekan lalu. Pada Januari 2019, kata Kevin, harga nikel masih pada kisaran US$10.880 per ton. Saat ini harganya sudah naik menjadi US$12.932 per ton.

"Nanti ke depannya masih dalam tren kenaikan," imbuh dia.


Belum lagi, Vale Indonesia kini sedang melakukan proses divestasi sahamnya sebesar 20 persen untuk memenuhi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam beleid itu perusahaan wajib mendivestasikan sahamnya sebesar 40 persen secara bertahap.

Mengacu pada amandemen kontrak karya pada 2014 lalu, Vale Indonesia sudah menjual 20 persen sahamnya lebih dulu pada era 90-an melalui Bursa Efek Indonesia (BEI). Artinya, kewajiban perusahaan untuk menjual sahamnya kini tinggal tersisa 20 persen.

"Kalau Vale Indonesia jadi mendivestasikan sahamnya maka akan menguntungkan untuk Vale Indonesia juga, misalnya dana yang diraih mungkin bisa untuk ekspansi ke depan," tuturnya.

Namun begitu, saat ini memang belum ada keputusan soal harga saham yang akan dilepas dalam proses divestasi tersebut. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan pihaknya memang telah menerima surat mengenai rencana pelepasan saham Vale Indonesia sejak Desember 2018. Hanya saja, belum ada keputusan terkait skema penjualan saham perusahaan tersebut.


"Untuk ini harus dilihat dulu harganya berapa, apakah akan level tinggi atau rendah dari harga pasar. Masih harus dikaji lebih dalam," terang Kevin.

Saham Vale Indonesia menutup akhir pekannya di zona hijau pekan lalu di level Rp3.640 per saham atau melonjak 1,68 persen. Namun, dalam satu pekan terakhir harga saham perusahaan tersebut melemah tipis 0,27 persen.

Ia memprediksi harga saham Vale Indonesia tembus Rp3.770 per saham pekan ini. Dengan kata lain, saham tersebut berpeluang menguat 3,57 persen.


RRN/CNNI







Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita EKONOMI

MORE

MOST POPULAR ARTICLE