Jumat, 15 Maret 2019|20:01:06 WIB
Jakarta: Ekonom Senior Chatib Basri memperkirakan tingkat suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) akan menetap di level enam persen sepanjang 2019. Sebab, ruang penaikan suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed) diramal lebih rendah dari tahun lalu.
"Ruang bagi BI akan bertahan pada level ini mungkin ada kenaikan sekali atau BI rate tetap di enam persen," ujar Chatib dalam diskusi ekonomi dan politik KSEI di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis, 14 Maret 2019.
Chatib menuturkan kebijakan The Fed untuk membatasi kenaikan bunga acuannya lantaran inflasi di Amerika Serikat terus mengalami penurunan. Pada tahun lalu, The Fed memutuskan kenaikan bunga acuan sampai empat kali untuk mengimbangi inflasi.
Inflasi tersebut dipicu oleh mahalnya harga barang akibat turunnya tingkat pengangguran dan tingginya upah pekerja. "Sekarang Inflasi mulai melambat, logikanya apakah The Fed masih wajar naikkan bunga," ungkap dia.
Dengan kebijakan The Fed menaikkan bunga acuan tak lebih dari dua kali itu membuat nilai tukar rupiah terangkat. Terbukti selang sebulan rupiah menguat hingga menyentuh level Rp13.900 per USD. Artinya, fluktuasi rupiah selama ini sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal.
"Artinya penguatan rupiah terjadi karena The Fed naikkan cuma satu kali atau menghentikan kenaikan bunga," pungkas dia.
Bank Indonesia (BI) akan memperbanyak operasi lelang moneter tahun ini guna menjaga kecukupan likuiditas rupiah di pasar. Langkah tersebut dilakukan mengingat Indonesia memasuki era bunga tinggi.
Gubernur BI Perry Warjiyo sebelumnya mengatakan operasi moneter bakal dilakukan melalui lelang swap valuta asing atau term repo. Dengan begitu, dampak likuiditas kenaikan suku bunga acuan terhadap bunga kredit tidak terlalu tinggi.
"Mulai tahun ini, BI memperbanyak operasi lelang moneter yang ekspansi, injeksi likuditas melalui swap atau melalui term repo," ujar Perry dalam sebuah jumpa pers di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa, 29 Januari 2019.
Meski suku bunga kredit tinggi, penyaluran kredit bisa terus tumbuh selama likuiditas rupiah bagi perbankan terjaga. Karenanya, Bank Indonesia menaikkan porsi pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) rerata atau GWM averaging dari semula dua persen menjadi tiga persen dari dana pihak ketiga (DPK).
Selain itu, BI juga mengerek rasio penyangga likuditas makroprudensial (PLM) dari sebelumnya dua persen menjadi empat persen. Artinya, bank dapat menggunakan PLM yang merupakan surat-surat berharga secara keseluruhan sebagai underlying untuk melakukan repo ke BI.
"Sehingga bank-bank bisa menjadi lebih fleksibel dalam manajemen likuiditasnya. Kalau subung kredit tinggi, penyaluran kredit akan terus tumbuh dan bisa mendukung pertumbuhan ekonom," pungkasnya.
Sepanjang 2018 BI telah menaikkan suku bunga acuan BI 7DRRR sebanyak 175 basis poin pada Mei-November. Suku bunga acuan kini bertahan di level enam persen. RR/medcom