Sabtu, 16 Februari 2019|23:45:13 WIB
Jakarta: PT Siloam International Hospital Tbk (SILO) terus mendukung upaya pemerintah untuk menekan dan mencegah stunting. Siloam Hospital Group merupakan salah satu dari pelaku usaha yang ikut berpartisipasi dalam Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam Gerakan Nasional Pencegahan Stunting.
Melansir Medcom, Sabtu, 16 Februari 2019. "Kami mendukung sepenuh hati dan mengerahkan segenap kemampuan bersama pemerintah untuk menekankan, mencegah stunting. Upaya bagian investasi pembangunan sumber daya manusia dalam jangka panjang, di mana kami juga telah dan terus berperan," ujar Direktur Siloam Hospital Group Monica Lembong dalam keterangannya, di Jakarta.
Selain Siloam, ada korporasi besar seperti Unilever Indonesia, Mayora Indah, Gunung Sewu Group dan lain sebagainya. Gerakan yang diinisasi Kantor Staf Presiden tahun lalu ini terus berjalan dengan baik, dan akan terus ditingkatkan.
Stunting merupakan suatu kondisi di mana salah satunya dicirikan oleh anak memiliki tubuh pendek karena kekurangan gizi kronis dalam waktu cukup lama. Penyebab seorang anak mengalami stunting di antaranya karena kurangnya pemberian ASI, pengasuhan anak yang kurang tepat, infeksi, kondisi lingkungan, dan gizi pangan buruk. Berdasarkan Pemantauan Status Gizi 2015-2016, hanya dua provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi balita stunting di bawah 20 persen.
"Sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan Siloam Hospital Group melakukan berbagai penyuluhan kepada pasien maupun komunitas di luar pasien mengenai pola hidup sehat yang diharapkan akan menekan angka prevalensi stunting di Indonesia. Kami juga melakukan berbagai macam program kesehatan lainnya untuk masyarakat," ungkap Monica.
Upaya pembangunan manusia Indonesia terancam oleh masih tingginya anak penderita gagal tumbuh akibat kurang gizi kronis atau stunting. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada 2018 sebanyak 7,8 juta atau 30 persen dari 23 juta balita di Indonesia adalah penderita stunting. Meskipun proporsinya telah dari 37 persen pada periode sebelumnya, namun angka itu terbilang masih tinggi.
Pemerintah juga telah merilis Gerakan Nasional Pencegahan Stunting pada Juli tahun lalu, dimana perlu ada kemitraan pemerintah dengan swasta agar gebrakan ini berjalan efektif. Sejumlah kalangan meminta upaya ini terus digaungkan agar jumlah stunting dapat terus ditekan.
Dewan Pembina Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI) Prof dr Fasli Jalal sebelumnya menilai proporsi stunting sebesar 30 persen masih terlalu tinggi bagi Indonesia. "Menurut WHO angka 30 persen masih tinggi dan apalagi Indonesia dengan populasinya yang besar, sehingga posisi Indonesia sama seperti negara Afrika lainnya penderita gizi buruk," ujarnya.
Oleh karena itu, untuk menekan angka penderita gizi buruk kronis atau stunting perlu kerja sama semua sektor pemerintahan hingga pemerintah daerah dan termasuk keterlibatan peran swasta di dalamnya. Apalagi, pemerintah tahun ini menargetkan jumlah penderita gizi buruk tumbuh dua persen tentunya harus perlu kerja sama semua pihak.
Peran swasta sangat besar dan perlu dioptimalkan. Dimana perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) di daerah operasionalnya bisa mendukung program penanganan masalah gizi buruk. "Kemudian swasta juga memiliki forum yang bisa menjangaku luas program penanganan stunting dengan berbagai penyuluhan yang melibatkan media," ungkapnya.
Menurut dia kesadaran soal masalah stunting di masyarakat masih rendah dan terbatas informasi. Padahal bila tidak ditangani dengan serius bisa mengancam pertumbuhan anak kedepannya. Maka pendekatan untuk menangani masalah stunting ini harus mengetahui profil keluarga tersebut, asupan makanan hingga prilaku sanitasi, apakah sudah punya jamban atau belum.
radarriaunet.com/AHL/medcom