Selasa, 15 Mei 2018|00:34:19 WIB
Jakarta: Direktur Jenderal Pajak (DJP) mencatat penerimaan pajak sepanjang Januari-April 2018 tumbuh berkisar 11 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Dengan menghitung realisasi penerimaan pajak pada Januari-April 2017 mencapai Rp343,7 triliun, penerimaan pajak hingga April diperkirakan mencapai Rp381,5 triliun. Angka tersebut mencapai sekitar 20 persen dari target pendapatan pajak dalam APBN 2018 Rp1.424 triliun.
"Kalau dikeluarkan penerimaan dari program amnesti pajak tahun lalu, penerimaan Januari-April 2018 masih tumbuh sekitar 15 hingga 16 persen," ujar Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan DJP Yon Arsal pada awak media di Jakarta, Senin (14/5).
Menurut Yon, capaian penerimaan pajak masih terbilang cukup baik. Terlebih, kondisi perekonomian masih belum sepenuhnya pulih.
Dari sisi jenis pajak, pertumbuhan terbesar disumbang oleh Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang tumbuh melampaui 20 persen. Kinerja positih juga disumbang oleh PPh Orang Pribadi.
"Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga tumbuh positif. PPN Impor tumbuh dua digit, sekitar 20 persenan," ujarnya.
Dari sisi sektor, industri pengolahan dan perdagangan masih mencatatkan pertumbuhan signifikan dan diperkirakan masih akan tumbuh seiring perayaan lebaran.
"Industri pengolahan akan naik lagi jelang lebaran. Sektor perdagangan juga. Masyarakat kan butuh baju baru, makanan, ini otomatis akan mempengaruhi PPN karena masyarakat berbelanja," ujarnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memperkirakan penerimaan pajak tahun ini hanya akan mencapai 92 persen dari target. Meskipun tak sampai seratus persen, proyeksi tersebut sudah lebih baik dari realisasi tahun lalu yang hanya sebesar 89,4 persen dari target sebesar Rp1.283,6 triliun.
"Jika dilihat per jenis pajaknya, terlihat sinyal bahwa 2017 adalah titik nadir atau titik terendah dan sekarang sudah rebound," ujar Yustinus.
Kendati demikian, lanjut Yustinus, tekanan pemeirntah di sektor perpajakan tetap tinggi. Dua indikator perekonomian global, kenaikan harga minyak mentah dan depresiasi rupiah, perlu diwaspadai dampaknya terhadap penerimaan perpajakan.
Untuk itu, menurut dia, program reformasi perpajakan perlu dilanjutkan dan dituntaskan dengan berfokus pada perbaikan regulasi, perbaikan prosedur, peningkatan kualitas dan intergritas Sumber Daya Mineral, dan peningkatan layanan.
Selain itu, menurut dia, perlu ada quick win yang berdampak langsung terhadap wajib pajak. Selain untuk membangun kepercayaan satu sama lain, strategi quick win juga penting untuk memastikan bahwa reformasi perpajakan merupakan pilihan kebijakan terbaik dan menjanjikan hasil yang signifikan di masa mendatang.
Yustinus juga menilai perlu ada program pembaruan administras perpajakan (Core Tax System). Dalam jangka pendek, implementasi Pertukaran Informasi Data Keuangan Otomatis (AEOI) juga perlu dibarengi kesiapan infrastruktur yang memberi kemudahan dan menjamin akurasi data, analisis, dan tindak lanjut.
"Fokus kepada wajib pajak yang tidak patuh, didukung data akurat, dan analisis yang kredibel merupakan pilihan terbaik dan akan berdampak bagi peningkatan kepatuhan pajak secara signifikan," jelasnya.
Agi/cnni