Jumat, 16 Februari 2018|01:02:02 WIB
Jakarta: Direktur Utama PT Karsa Wira Utama, Winata Cahyadi menilai proses tender proyek KTP elektronik penuh rekayasa. Perusahaan Winata sempat sempat terlibat dalam pilot project KTP-el, namun gagal menang dalam proses tender.
Winata yang dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Setya Novanto dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta mengatakan, sedari awal ia merasa proyek senilai Rp5,9 triliun itu direkayasa. Majelis hakim lantas mempertanyakan mengapa perusahaannya gagal lolos dalam proses tender.
"Jatuh dan dijatuhkan beda. Gugur dengan digugurkan beda. Kenapa digugurkan?" tanya hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 15 Februari 2018.
Winata menduga mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri, Irman sedari awal sudah memilih perusahaan yang akan mengerjakan proyek tersebut. Apalagi, menurutnya, ia sempat menolak ajakan pengusaha pelaksana proyek KTP-el, Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Ia juga menyebut, Irman mengetahui jika proyek dikerjakan oleh perusahaan miliknya tidak akan menguntungkan. "Irman tahu sekali kalau sudah sampai proses penawaran, harga kita pasti murah, makanya digugurkan," paparnya.
Selain itu Winata juga meragukan keterangan lobi yang diucapkan oleh Andi Narogong. Menurut dia, ketika pemerintah membutuhkan proyek tersebut, tidak harus melalui proses lobi ke DPR.
"Intinya dia bilang, dia harus lobi dari DPR supaya gol proyek ini. Kenapa harus lobi-lobi kalau memang kebutuhan pemerintah," kata Winata kepada hakim.
Selain itu, ia juga membeberkan soal syarat fee 8 persen yang harus disiapkan ketika menang tender. Ucapan ini dikatakan oleh Irman sebelum lelang dilakukan.
"Kalau menang harus menyisihkan 8 persen," kata Winata. Fee 8 persen itu merupakan jatah yang akan diberikan kepada lembaga eksekutif, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri saat itu, Gamawan Fauzi dan Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni.
DMR/Mtvn