Rabu, 15 November 2017|20:00:07 WIB
Jakarta: Tingginya tingkat religiositas warga tak berdampak signifikan terhadap praktik korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Temuan itu tercantum pada hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan 16-22 Agustus lalu kepada 1.540 responden di 34 provinsi. Dari survei LSI, lebih dari separuh masyarakat muslim Indonesia memiliki tingkat kesalehan yang tinggi.
"Sebanyak 74,9 persen dari seluruh umat Islam di negara ini sangat atau cukup saleh. Namun, makna agama dan ritual yang dijalani hanya berhubungan signifikan dengan sikap mereka terhadap korupsi, tidak dengan perilaku korupsi," ujar Direktur Eksekutif LSI Kuskridho (Dodi) Ambardi di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, Rabu (15/11).
Lebih lanjut, dalam surveinya LSI menemukan 30,4 persen responden menganggap wajar pemberian uang atau hadiah (gratifikasi) untuk memperlancar urusan dengan instansi pemerintah.
Responden yang anggap pemberian gratifikasi tidak wajar mencapai 63,2 persen.
Pemberian gratifikasi kerap diberikan saat berurusan dengan polisi. Hasil survei LSI menunjukkan 40,4 persen responden yang pernah berurusan dengan polisi pasti sempat memberi uang atau hadiah kepada aparat.
Polisi juga disebut kerap meminta uang atau hadiah kepada masyarakat. Ada 46,1 persen responden yang mengaku pernah diminta gratifikasi oleh aparat.
Selain polisi, praktik korupsi sering terjadi saat masyarakat berhubungan dengan pihak pengadilan atau saat mengurus dokumen kependudukan.
Sebanyak 26,9 persen responden yang pernah mengurus dokumen kependudukan mengaku pernah diminta gratifikasi. Kemudian 39,6 persen responden yang sempat berurusan dengan pengadilan berkata pernah dimintai uang oleh pegawai dari sana.
"Semakin warga bersikap memaklumi praktik korupsi, semakin korup juga perilaku mereka," tuturnya.
Survei LSI juga mencatat sebanyak 35,2 persen responden memaklumi praktik kolusi, 44,6 persen responden menilai kolusi tidak etis, dan 9,2 persen menuding praktik tersebut sebagai suatu kejahatan.
Dari sejumlah catatan itu, Dodi menyatakan, perilaku korup dapat ditemukan pada sosok orang yang saleh maupun tidak. Tingkat religiositas masyarakat hanya berdampak pada tataran normatif.
Ia juga memandang pengalaman diminta gratifikasi oleh aparat atau pejabat pemerintah akan meningkatkan intensitas warga berperilaku korup.
"Mereka yang tinggal di pedesaan dan berusia lebih tua cenderung lebih pro-korupsi, sebaliknya yang lebih berpendidikan cenderung antikorupsi," ujarnya.
Keterbelahan Kepribadian
Tidak sejalannya tingkat religiositas warga dengan perilaku korup dianggap terjadi karena ada keterbelahan kepribadian (split personality).
Cendekiawan muslim dari Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Azyumardi Azra berkata, banyak orang beriman dan beribadah tapi tak mengimplementasikan nilai-nilai agamanya dalam kehidupan sehari-hari.
"Masih terlalu naif kita berharap dengan meningkatkan kesalehan maka korupsi akan berkurang. Tak ada hubungan antara peningkatan kesalehan personal dengan kesalehan sosial yaitu korupsi," kata Azyumardi.
Profesor dari UIN itu menganggap banyak koruptor yang berpikir bisa 'membersihkan' dosanya dengan menggunakan uang korupsi untuk berbuat baik. Padahal, kedua hal tersebut tak berkaitan sama sekali.
Azyumardi pun meminta organisasi kemasyarakatan (ormas) besar berbasis agama seperti Nadhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk turun tangan mengatasi keterbelahan personalitas masyarakat.
"Masih perlu dilakukan kampanye antikorupsi dari mimbar. Saya kira para khatib dan juru dakwah harus diberi juga pelatihan soal ini," tuturnya.
wis/cnni