Menghitung Efek Domino dari Susutnya Penerimaan Pajak
Penerimaan pajak yang kurang berpotensi pada belanja pemerintah. Ekonom menilai, ada dua solusi, yaitu efisiensi belanja pemerintah atau menambah utang. Ant Pic/Cnni

Menghitung Efek Domino dari Susutnya Penerimaan Pajak

Sabtu, 12 Agustus 2017|17:39:34 WIB




Jakarta: Agaknya terlalu dini menilai penerimaan pajak tahun ini akan meleset dari target. Namun, melihat penerimaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hingga Juli 2017 yang sebesar Rp601,1 triliun atawa hanya 46,8 persen dari target pajak, bayang-bayang shortfall sepertinya tidak berlebihan.
 
Memang, kalau dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, penerimaan pajak kali ini masih meningkat 12,4 persen. Tetapi, perlu diingat kantong penerimaan pajak Januari-Juli tahun lalu belum memasukkan program pengampunan pajak (tax amnesty). Sementara, berkah tax amnesty memenuhi penerimaan pajak Januari-Maret 2017 ini.
 
Perbedaannya, berkah tax amnesty tahun lalu digelar selama enam bulan menghimpun hingga Rp103,31 triliun. Sementara, pagelaran tax amnesty tahun ini cuma tiga bulan dan tercatat hanya sebesar Rp10,69 triliun.
 
Meski dibayang-bayangi shortfall, DJP masih optimis. Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Hestu Yoga Saksama mengatakan, penerimaan pajak jelang akhir tahun tetap akan besar. "Dari tahun ke tahun, semester II itu akan meningkat, entah di November atau Desember. Terlepas ada tax amnesty atau tidak," ujarnya, kemarin.
 
Patokannya, laju pertumbuhan ekonomi diproyeksi lebih kencang jelang tutup tahun, di mana konsumsi pemerintah, dunia usaha, serta masyarakat biasanya akan menggeliat dan memenuhi pundi-pundi penerimaan pajak di akhir tahun.
 
Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berbeda pandangan. Ia lebih pesimis dengan memperkirakan, pencapaian penerimaan pajak paling optimal hanya sebesar 91 persen dari target di akhir tahun, yakni sebesar Rp1.168,04 triliun.
 
Alasannya, realisasi penerimaan pajak selama tujuh bulan ini baru 46,8 persen. Tidak hanya itu, tak ada lagi berkah tax amnesty, dan tidak ada perluasan basis pajak baru. "Tax amnesty belum kentara membantu peningkatan Pajak Penghasilan (PPh). Meski, ada kontribusi kenaikan PPh Orang Pribadi dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) karena kepatuhan yang meningkat," jelas Yustinus.
 
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adinegara bahkan memperkirakan, penerimaan pajak hanya berkisar 75 persen sampai 80 persen atau sekitar Rp962,67 triliun sampai Rp1.026,85 triliun. "Lantaran tambahan pajak dari pasca tax amnesty masih sulit dicari," tutur Bhima.
 
Selain itu, kebijakan reformasi pajak yang salah satunya dilakukan dengan menjalankan sistem keterbukaan dan pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) tak bisa segera membuahkan hasil dalam waktu dekat. 
 
Hal ini dikarenakan AEoI baru dilaksanakan pada 2018 mendatang. "Perkiraannya, tiga tahun sampai lima tahun setelah keterbukaan pajak, baru berdampak signifikan ke penambahan pajak," imbuh dia.
 
Adapun, shortfall tahun lalu sebesar Rp219 triliun. Proyeksi shortfall tahun ini sekitar Rp115,53 triliun - Rp320,9 triliun. Tetapi, Ekonom Bank Permata Josua Pardede nilai, shortfall tahun ini tak akan sebesar tahun lalu. Sebab, kantong negara tak hanya diisi oleh pajak. Toh, pemerintah masih punya amunisi tambahan lewat penerimaan cukai, bea masuk, bea keluar, Penerimaan Negara Bukan Pajak, termasuk penerimaan hibah.
 
Tercatat, PNBP cukup cemerlang, mencapai Rp146,1 triliun pada semester I atau sekitar 56,14 persen dari target Rp260,24 triliun di APBNP 2017. "PNBP turut diharapkan dapat tumbuh positif pada semester II tahun ini, mengingat pencapaian yang cukup baik pada semester I," katanya.
 
Pun demikian, ketiga pengamat di atas masih melihat awan hitam yang menyelimuti kinerja belanja negara yang diperkirakan tak maksimal karena kurangnya penerimaan untuk menutup kebutuhan belanja. Padahal, kebutuhan belanja diprediksi membengkak mencapai Rp2.133,29 triliun dalam APBNP 2017.
 
Nah, persoalannya, tolak ukur kemampuan belanja negara bergantung pada penerimaan pajak. Maklum, sumbangannya mencapai 73,93 persen dari target pendapatan negara keseluruhan yang sebesar Rp1.736,06 triliun. Sehingga, tak salah apabila meratapi kemampuan belanja pemerintah sampai akhir tahun.
 
Persoalan lain, shortfall pajak juga menghantui pelebaran celah defisit anggaran yang pada APBNP 2017 telah diasumsikan sebesar 2,92 persen. Artinya, bila tak ada sumber penerimaan lain, defisit bisa melewati batas maksimal sebesar 3,0 persen sesuai yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2007 tentang Keuangan Negara.
 
Lalu, bagaimana dengan APBNP 2017?
 
Setidaknya, ada dua hal yang bisa dilakukan pemerintah, yaitu efisiensi belanja dari seluruh pos atau menutup lubang dari tambalan utang.
 
Bhima menilai, efisiensi jauh lebih baik dibandingkan menambah porsi utang dalam. Sebab, dampak dari penambahan utang ikut memengaruhi anggaran jangka panjang. "Jatuh tempo utang pemerintah sampai 2019 nanti juga besar. Kalau terbitkan utang sekarang, di 2019 bisa bengkak rasio utang," terang dia.
 
Namun, bak buah simalaka. Ada dampak yang harus ditanggung pemerintah ketika memangkas anggaran belanja, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tertekan. Apalagi, untuk mencapai target 5,2 persen sesuai APBNP 2017.
 
Indikator konsumsi pemerintah yang terkoreksi minus 1,93 persen di kuartal II akan semakin sulit untuk diperbaiki. Adapun pelemahan konsumsi pemerintah di kuartal II juga merupakan hasil dari pemangkasan anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) Rp16 triliun yang merupakan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
 
"Jadi, akan ada gelombang pemangkasan anggaran jilid dua. Tapi, penghematan kalau pajak tidak tercapai membuat konsumsi pemerintah semakin loyo. Dikhawatirkan penyerapan belanja rendah dan agak terlambat," imbuhnya.
 
Efek lanjutannya, sambung Bhima, akan memengaruhi indikator-indikator pertumbuhan ekonomi lainnya, yaitu konsumsi rumah tangga. Hal ini dikarenakan kurangnya stimulus dari pemerintah dan dunia usaha, khususnya industri ritel yang langsung terpapar kalau terjadi pelemahan konsumsi masyarakat.
 
Nah, apabila melakukan efisiensi, lanjutnya, sebaiknya pemerintah tetap menggenjot semaksimal mungkin belanja di kuartal III. Bila belum juga terserap dengan maksimal, barulah pemerintah memangkas anggaran di kuartal IV. "Baru dipotong anggaran yang kurang efisien, termasuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan dana desa," tutur dia.
 
Kalau roda-roda pertumbuhan ekonomi tetap bisa maksimal, bukan mustahil ekonomi nasional berpeluang tumbuh di angka 5,1 persen atau mendekati target awal di APBN 2017.
 
Hal senada disampaikan Josua. Ia melihat langkah efisiensi lebih baik ketimbang menumpuk utang. Efisiensi ini, ia mengusulkan, dapat dilakukan melalui penghematan belanja rutin. "Belanja rutin, seperti perjalanan dinas dan belanja barang K/L yang tak perlu dibelanjakan setiap tahunnya," katanya.
 
Selain itu, pemerintah perlu betul-betul memastikan penggunaan anggaran bantuan sosial (bansos) dan dana desa tetap optimal dan tepat sasaran. Sehingga, mampu merangsang pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
 
Opsi lain, bila pemerintah lebih ingin menambah utang pada APBNP 2017, ia melihat risiko yang lebih kecil, yaitu menerbitkan obligasi. "Penerbitan obligasi lebih rendah risikonya daripada menarik utang dari lembaga internasional dan bilateral," ucapnya.
 
Yustinus berpendapat, efisiensi memang jauh lebih tokcer dibanding menambah utang. Meskipun rasio utang Indonesia masih di kisaran 28 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
 
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan, Pembiayaan, dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu per Juni 2017, posisi utang Indonesia telah mencapai Rp3.706,52 triliun, terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) Rp2.979,5 triliun, dan pinjaman Rp727,02 triliun.
 
Sedangkan dalam UU Keuangan Negara tertuliskan bahwa batas utang Indonesia sebesar 60 persen. Sehingga, bila pemerintah ingin menambah utang, sebenarnya sah-sah saja. Dengan catatan, utang itu benar-benar dikelola dengan baik dan dialirkan untuk sektor produktif.
 
"Efisiensi memang berisiko pada pengeluaran yang turun dan akan menurunkan target pertumbuhan. Tapi beban bunga utang setidaknya berkurang," pungkasnya. 
 
bir/cnni/rrn
 
 
 






Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita EKONOMI

MORE

MOST POPULAR ARTICLE