Selasa, 18 Juli 2017|21:30:28 WIB
Jakarta: Pelaku usaha perkebunan berharap pemerintah mau menghilangkan pembebanan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi empat komoditas perkebunan, yakni karet, kopi, kakao, dan teh.
Ketua Umum Forum Komunikasi Dewan Komoditas Perkebunan (FPDKP) Aziz Panen menyebut telah melayangkan surat kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan pada 16 Juni 2017 silam dan kini masih diproses oleh BKF. Ia berharap, respons dari pemerintah bisa didapatkan secepatnya.
"Sampai saat ini bilangnya masih diproses, kami tunggu secepatnya karena kami rasa ini sudah sangat mendesak. Kemarin gula sudah diperkirakan dapat pembebasan PPN, kami tunggu untuk empat komoditas ini," imbuh Aziz, Selasa (18/7).
Menurutnya, permintaan ini dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 39 Tahun 2016 yang membatalkan pasal 4 ayat 2 huruf b di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Dengan membatalkan pasal itu, maka barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari pungutan PPN tidak terbatas pada 11 komoditas saja, seperti tercantum dalam UU 42 Tahun 2009.
Selain itu, Aziz menambahkan, pengenaan PPN ini pun tidak memiliki manfaat bagi penerimaan negara. Ia beralasan, PPN ini hanya berlaku bagi penjualan komoditas di dalam negeri.
Sementara itu, sebagian besar produksi empat komoditas ini diekspor ke luar negeri. Dengan kata lain, perusahaan berhak untuk meminta restitusi atas PPN yang telah dibayarkan, karena PPN bagi kegiatan ekspor dikenakan nol persen.
Menurut data asosiasi, produksi karet yang diekspor mencapai 83 persen dari produksi hingga akhir tahun lalu. Sementara itu, ekspor bagi kakao, kopi, dan teh masing-masing mengambil 46 persen, 60 persen, dan 43 persen dari produksi tahunan.
"Melihat angka itu, sebenarnya berapa besar penerimaan negara dari sini? Apakah bepengaruh ke penerimaan negara? Jelas tidak," katanya.
Melengkapi ucapan Aziz, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo mengatakan, pengenaan PPN bagi komoditas perkebunan juga tidak dirasa tepat. Pasalnya, kegiatan perkebunan sama sekali bukan kegiatan pertambahan nilai, karena tidak menyentuh sisi hilir dari perkebunan itu sendiri.
Di samping itu, pengenaan PPN sebesar 10 persen ini memberatkan karena menambah beban operasional perusahaan. Apalagi, saat ini harga karet dunia tengah mengalami pelemahan. Ujung-ujungnya, petani yang harus kena getahnya karena mendapat tekanan dari pengepul untuk memurahkan harga jualnya.
Menurut data Gapkindo, saat ini harga jual karet berada di angka US$1,53 per kilogram (kg) pada bulan Mei kemarin. Angka ini berbanding terbalik dibanding posisi awal Januari 2017 yang sempat menyentuh US$2,09 per kg.
"Kami tidak mungkin meningkatkan harga jual karet, karena kan harga ini berdasar pada harga patokan. Sehingga, mau tak mau ini dibebankan ke pemasok kita. Ujung-ujungnya, ini dikenakan ke petani kecil karena pengepul mintanya harga yang lebih murah. Kasihan petani kecil, jadi makin tertekan," imbuhnya.
Oleh karenanya, ia berharap pemerintah segera menjawab permintaan asosiasi. "Tapi kami dengar BKF masih terus mempelajari, saya tidak tahu juga. Dengar-dengar katanya ini akan dimasukkan ke dalam Rencana Undang-Undang PPN," pungkasnya.
Sebagai informasi, pengenaan pajak bagi komoditas perkebunan diberlakukan sejak tahun 2014 setelah Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Putusan MA Nomor 70P/2013. Adapun, putusan itu membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2007 yang semula membebaskan PPN bagi barang yang bersifat strategis.
gir/cnni/rrn