Padang: Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menilai aplikasi pesan singkat Telegram berpotensi menyembunyikan identitas teroris yang menjadi pengguna aplikasi itu.
Rudiantara menilai sistem tanpa nomor telepon atau tanpa organisasi yang diterapkan Telegram terhadap pengguna, dapat menjadi celah yang digunakan untuk jaring komunikasi para teroris.
"Kalau dibandingkan dengan sistem lain, ini dianggap lebih aman, karena tidak enkripsi. Belum lagi Telegram juga tidak memberikan informasi nomor telepon pengguna," ujar Rudiantara di Padang, Sumatra Barat, Sabtu (15/7).
Dia mengatakan aplikasi itu tak hanya minus transparansi data pengguna, namun Telegram juga tak memberikan pertukaran data yang baik dengan pemerintah.
"Beda dengan Twitter yang berkantor di Jakarta, ini saja kami mendapatkan reaksi atas pemblokiran tersebut via Twitter CEO Telegram," ujar Rudiantara.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi Informasi memblokir aplikasi Telegram, yang diduga mengandung konten ilegal karena mengarah pada radikalisasi hingga jaring teroris.
Pemblokiran dilakukan terhadap telegram yang diakses melalui situs, sementara itu versi aplikasi masih bisa digunakan seperti biasa. Kominfo berencana akan menambah regulasi untuk menyaring percakapan berbau radikal hingga terorisme melalui Telegram yang berbasis aplikasi.
Mempertanyakan Kebijakan
Menanggapi pemblokiran itu, pendiri sekaligus CEO aplikasi pesan singkat Telegram Pavel Durov angkat bicara dalam akun Twitter pribadinya. Durov mengaku heran dengan kebijakan tersebut. Pasalnya, dia menulis, pihaknya belum pernah menerima komplain atau keluhan dari Pemerintah Indonesia.
"(Kebijakan) itu aneh, kami tak pernah menerima permintaan atau keluhan apapun dari pemerintah Indonesia. Kami akan menyelidikinya dan mengumumkannya," tulis Durov.
asa/cnni/rrn