Tionghoa, Trauma Politik dan Kemunculan Ahok
Warga etnis Tionghoa takut untuk mengambil peran di bidang politik karena trauma pada pemerintahan masa lalu. Namun kemunculan Ahok mengubahnya perlahan. Cnni Pic

Tionghoa, Trauma Politik dan Kemunculan Ahok

Sabtu, 20 Mei 2017|19:16:12 WIB




Jakarta: Mungkin sebagian orang berpikir etnis Tionghoa lebih dikenal sebagai seorang pengusaha atau pedagang. Hal itu bisa jadi tak sepenuhnya keliru.

Hal itu diungkapkan Candra Jap dari Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI). Dia menyatakan sebagian warga etnis Tionghoa di Indonesia memiliki kesadaran politik yang rendah. Hal tersebut merupakan salah satu akibat dari pemerintahan di masa lalu.

Candra menceritakan pada masa pemerintahan Soekarno sebelum kemerdekaan, masyarakat Tionghoa terbelah menjadi dua kubu, yaitu kubu integrasi dan kubu asimilasi.

Kubu integrasi mendirikan sebuah organisasi yang disebut Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Baperki dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan dan memiliki hubungan yang dekat Soekarno yang kala itu menjabat sebagai Presiden.

Bagi kubu integrasi, jika etnis Tionghoa ingin bergabung dengan Indonesia, maka orang Indonesia harus mau menerima segala kebudayaan, adat istiadat yang dibawa oleh etnis Tionghoa.

Sementara kubu asimilasi lebih memiliki kedekatan dengan pemerintah Belanda. Bagi kubu asimilasi, jika mau menjadi orang Indonesia maka harus meninggalkan semua yang berbau China, mulai dari nama, perayaan Imlek, barongsai, dan lainnya.

Kubu asimilasi akhirnya didekati oleh kubu lawan politik Soekarno, yaitu Soeharto untuk dijadikan alat menjatuhkan Soekarno.

"Supaya pengaruh yang berbau Soekarno hilang, Baperki semua ditumpas sampai ke daerah-daerah. Ini akhirnya bikin orang Tionghoa takut berpolitik, kalau berpolitik nanti jadi kayak Baperki," ujar Candra.

Orang-orang Tionghoa yang hidup pada 1965, lanjut Candra, menurunkan doktrin tersebut ke anak-anaknya dengan melarang mereka untuk tidak masuk ke dunia politik dan mengarahkan untuk berdagang saja.

Tak hanya melarang anaknya untuk masuk ke dunia politik, efek yang ditimbulkan pun membuat para orangtua sampai tidak mengajarkan bahasa dialek Tionghoa kepada anak-anaknya.

"Traumanya sampai seperti itu ditambah ada satu surat yang sangat menganggu SKBRI (Surat Keterangan Bukti Kewarganegaraan Indonesia), bikin paspor masih (kena) pungli, apalagi yang enggak punya. Itu yang bikin Tionghoa enggak berpolitik, jadi susah karena politik," kata Candra.

Pasca reformasi atau tepatnya saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada 1999-2001, terjadi euforia yang dirasakan oleh etnis Tionghoa.

Di masa pemerintahannya, etnis Tionghoa kembali bisa merayakan Imlek. Tak hanya itu, agama Kong Hu Cu pun diterima dan diakui di Indonesia.

Candra mengatakan posisi etnis Tionghoa lebih baik dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya. Hal ini karena etnis Tionghoa mulai diterima di segala bidang, termasuk politik.

Di masa Orde Baru yakni 1966-1998, etnis Tionghoa memang tidak diperbolehkan masuk ke dalam dunia politik dan hanya diarahkan untuk berdagang saja.

Kemunculan Ahok

Meski begitu, euforia kebebasan yang dirasakan oleh etnis Tionghoa ini, diakui Candra tak melulu berdampak positif.

"Kita enggak bisa bilang semua orang Tionghoa itu baik, ada beberapa yang memang oknum. Contohnya ingin jadi anggota DPR bukan karena keinginan untuk berbakti tetapi karena melihat ada potensi bisa cari uang, main proyek. Itu tidak bisa dipungkiri," ujar Candra.

Candra juga menyebut bahwa saat ini ada pula pengusaha Tionghoa yang melakukan kolusi dengan pejabat. "Jadi dua sisi mata uang, di satu sisi mendapat kebebasan merayakan Imlek, Kong Hu Cu jadi agama itu yang baik, yang buruk juga berjalan," kata Candra.

Namun, kemunculan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta pada 2014 lalu mulai menumbuhkan semangat anak muda Tionghoa untuk masuk ke dunia politik.

Ketika sebagian besar anak muda Tionghoa memiliki cita-cita sebagai pengusaha sebelumnya, popularitas Ahok membuat anak-anak muda Tionghoa memiliki keinginan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

"Begitu Ahok jadi gubernur, anak muda Tionghoa mulai semangat. Biasanya kalau ditanya mau jadi apa (dijawab) jadi pengusaha, jadi dokter, sekarang bisa ngomong gue mau nyaleg," ungkap Candra.

Namun, menurut Candra yang menjadi persoalan adalah anak-anak muda Tionghoa yang terjun ke dunia politik ini kurang mendapatkan pendidikan politik yang baik.

"Parpol rekrut karena punya potensi suara dan finansial. Kalau saya bilang parpol salah enggak memberikan pendidikan politik, karena cuma dianggap sebagai komoditas untuk mendapatkan duit dan suara," ucap Candra.

Ahok naik sebagai gubernur DKI Jakarta pada 2014, menggantikan Joko Widodo yang terpilih sebagai Presiden. Namun dia dikalahkan pada Pilkada 2017 oleh pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Sebelumnya, dia dikenal gubernur yang transparan dan tegas, selain sosok yang ceplas-ceplos. Masalah ucapan ini pula yang akhirnya membuatnya terbelit kasus hukum.

Dia divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara karena dianggap terbukti melakukan penodaan agama saat mengutip Alquran surat Al Maidah pada 9 Mei lalu. Dan kasus Ahok itu, bisa jadi pula sedikit banyak berpengaruh pada euforia keinginan berpolitik muda-mudi etnis Tionghoa hari ini.

asa/cnni/rrn







Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NEWS

MORE

MOST POPULAR ARTICLE