Rabu, 17 Mei 2017|19:49:35 WIB
Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk memberikan penjelasan mengenai payung hukum pelaksanaan sistem keterbukaan dan akses pertukaran informasi (Automatic Exchange of Information/AEoI).
Payung hukum sistem AEoI tersebut telah diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak diundangkan pada 8 Mei lalu berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Pemeriksaan Perpajakan.
"Kami akan mengundang Menteri Keuangan untuk menjelaskan substansi dari Perppu tersebut, mungkin minggu depan kami tentukan jadwal bertemunya. Karena minggu ini masih Paripurna," kata Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno, Rabu (17/5).
Menurut Hendrawan, penjelasan dari Sri Mulyani kepada DPR sangat penting karena akan menjadi pertimbangan bagi pengujian Perppu oleh DPR. Pasalnya, mesti Perppu setara dengan Undang-undang (UU), namun bentuk Perppu belum permanen dan masih harus diuji oleh DPR agar dapat menjadi UU.
Bila DPR menolak Perppu, maka Perppu tersebut tidak berlaku dan Presiden perlu mengajukan Rancangan UU tentang pencabutan Perppu tersebut.
Oleh karenanya, pertemuan antara DPR dan Sri Mulyani menjadi penting agar sejumlah hal-hal yang masih kurang merinci tertuang dalam Perppu dapat ditanyakan oleh DPR dan segera mendapat kepastian aturannya, misalnya melalui aturan turunan.
"Jadi, kami harus mengantisipasi kalau penerapannya eksesif, kalau nanti ada penyalahgunaan seperti apa, soal datanya seperti apa. Karena data harus untuk kepentingan perpajakan, jangan sampai digunakan untuk hal yang lain," jelasnya.
Hanya saja, Hendrawan memastikan, selama tujuan Perppu tersebut baik, tentu DPR tak ingin menghalangi agar payung hukum dapat segera berlaku. Justru, DPR ingin mengambil peran dalam menyempurnakan aturan untuk menjalankan sistem keterbukaan informasi.
"Pokoknya tenang saja. Kalau tujuannya baik, untuk penerimaan negara, kepatuhan pajak, kestabilan ekonomi, tentu kami mendukung. DPR prinsipnya mendukung apa yang baik untuk negara," imbuhnya.
Seperti diketahui, bersamaan dengan Perppu tersebut, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) telah memiliki landasan hukum untuk mengintip data keuangan nasabah perbankan, baik yang ada di dalam maupun luar negeri untuk keperluan pemeriksaan perpajakan.
Dalam aturan tersebut, DJP akan memperoleh identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan, dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan dari lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan entitas lain.
Bila ada nasabah yang menolak untuk mematuhi ketentuan identifikasi rekening keuangan sesuai Perppu, lembaga jasa keuangan tidak diperbolehkan melayani pembukaan rekening keuangan yang baru bagi nasabah baru dan transaksi baru terkait rekening keuangan bagi nasabah lama.
Sementara, bagi pemimpin, lembaga, atau setiap orang yang tidak memberikan data keuangan tersebut berpotensi dikenakan sanksi atau hukuman berupa pidana kurungan selama satu tahun atau denda paling besar Rp1 miliar.
gir/cnni