Setelah #Aksi212, Jokowi Harus Apa Lagi?
Aksi super damai #212 dan sholat Jumat bersama di lapangan Monas, 2 Desember 2016. Cnni Pic

Setelah #Aksi212, Jokowi Harus Apa Lagi?

Sabtu, 03 Desember 2016|12:56:23 WIB




RADARRIAUNET.COM: Soal rasa memang subjektif, tapi kali ini perlu diakui oleh semua kalangan bahwa Aksi Bela Islam III terasa sangat tenang, tertib, dan damai. Pernyataan ini bukan untuk menyebut aksi #411 sebagai aksi tidak damai, tidak tertib dan tidak damai, tapi 212 setingkat lebih dewasa—yang sudah seharusnya seperti itu.
 
Pujian terus mengalir saat contoh santun yang diperlihatkan dari setiap individu warga negara menunjukkan bagaimana seharusnya sebuah negara besar bertindak.
 
"Hidup Jokowi, tahan Ahok sekarang juga," sesekali terlontar dari teriakan massa Aksi #212, saat Presiden Joko Widodo bersama Jusuf Kalla keluar dari Istana Kepresidenan menuju kerumunan umat untuk berjamaah salat Jumat.
 
"Saya ingin memberikan penghargaan yang setinggi tingginya karena seluruh jamaah hadir tertib dalam ketertiban sehingga acara berjalan dengan baik. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,” kata Jokowi disambut takbir massa yang berjibun.
 
Lantas apa lagi yang harus diberikan Jokowi usai #aksi212?
 
Hukum positif yang dianut republik ini tentu tidak bisa kalah dari hukum apapun. Apapun alasannya.
 
Dalam posisi legal formal Indonesia, konstitusi berupa produk undang-undang mengatur seluruh aspek, bukan berarti yang paling sempurna dari jenis hukum lain, tapi setidaknya telah disepakati sebagai pijakan untuk bernegara.
 
Deretan aksi demonstrasi 411 hingga berujung zikir akbar 212 adalah pelajaran dua pihak: rakyat dan negara.
 
Pemberitaan media arus utama dan dunia maya cenderung lebih dingin ketimbang aksi sebelumnya. Bukan tanpa alasan, ada evaluasi yang sadar atau tidak dilakukan setiap pihak.
 
Negara mulai membuka diri atas tuntutan rakyat dengan Jokowi sebagai simbol menyambangi massa. Di sisi lain, rakyat dan publik yang merasa tersakiti mulai mereda karena ada waktu bagi mereka untuk tahu lebih banyak membaca bagaimana seharusnya hidup sebagai sebuah individu dalam tataran negara yang berdasar konstitusi.
 
Aksi 411 mungkin saja menjadi preseden buruk bagi Jokowi, saat ranah hukum yang seharusnya steril dari intervensi manapun akhirnya kalah oleh desakan massa. Bahkan Jokowi yang meminta Kapolri langsung menyelidiki Ahok, kurang dari seminggu Ahok tersangka.
 
Setelah itu? Cukuplah untuk terus menekan negara (hukum) dengan menggerakkan massa.
 
Ada sistem yang seharusnya dilalui yaitu konstitusi. Bukan untuk mengelabui tapi diamati, dikawal seluruh prosesnya.
 
Tak Ada Skenario "Jika" Jokowi
 
Jokowi bahkan memerintahkan ekspos terbuka kasus Ahok, meskipun dalam perjalannya urung dilakukan karena Polri tidak punya dasar hukum untuk melakukan itu. Maka skenario 'jika' tidak berlaku di ranah hukum.
 
Sudah saatnya Jokowi memberikan pelajaran berharga untuk rakyat, kali ini hukum tidak bisa diintervensi dari sisi manapun. Penahanan Ahok, bahkan Buni Yani sekalipun, bukan area permainan presiden, melainkan penegak hukum dengan aturan yang rigid.
 
Bagaimana jika Ahok mundur?
 
Ahok jelas tidak bisa mundur dari pencalonan sesuai Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 dan revisinya Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada.
 
Sanksi berupa denda dan pidana berlaku bagi calon perseorangan maupun yang diusung parpol atau gabungan parpol jika mundur setelah ditetapkan KPU sebagai peserta pilkada, sebelumnya tertuang di Pasal 191 UU Pilkada—aturan yang tampaknya baru dibaca banyak orang setelah ramainya pemberitaan.
 
Segera tahan Ahok?
 
Seharusnya berlaku kepada pihak-pihak yang menjadi tersangka terkait kasus penistaan agama, Ahok dan Buni. Tak ada penahanan untuk keduanya.
 
Selain tidak ada keharusan bagi penegak hukum untuk melakukannya, dengan catatan jangan samakan kasus penistaan agama saat ini secara apple to apple di era Orde Baru.
 
Berpayung KUHAP Pasal 21 ayat 1 tentang alasan subjektif penahanan ayat 4 untuk faktor objektif seorang tersangka dan terdakwa ditahan akibat diancam kurungan lima tahun atau lebih. Jokowi tak bisa ditekan untuk menahan siapapun, bahkan itu mendegradasi simbol negara saat Jokowi menahan Ahok hanya karena tuntutan massa.
 
Publik harus tahu aturan ini untuk memberi Jokowi peluang memikirkan urusan lain yang juga menjadi prioritas.
 
rdk/cnni






Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NEWS

MORE

MOST POPULAR ARTICLE