RADARRIAUNET.COM - Setelah dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo bergulir, pelanggaran hak asasi manusia akibat konflik di Papua masih marak terjadi. Sejumlah aktivis pun mendesak Jokowi dan jajaran pemerintahannya untuk mengadakan dialog komprehensif dengan masyarakat Papua guna meredam konflik tersebut.
"Besarnya perhatian Jokowi, belum meredakan konflik Papua yang masih membara dan bisa membakar siapa saja dan kapan saja. Ini semua hanya bisa diredam dengan dialog inklusif antara pemerintah dan masyarakat Papua," ujar Koordinator Jaringan Damai Papua, Neles Tebay, dalam acara diskusi di Setara Institute, Jakarta, kemarin.
Neles menjelaskan, pemerintahan Jokowi sebenarnya sudah menunjukkan komitmen kuat untuk membangun Papua dengan menggenjot perekonomian di sana. Namun ada banyak konflik lain yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan penyediaan sarana untuk kesejahteraan rakyat.
Menurut Neles, akar dalam sebagian besar konflik di Papua adalah pelanggaran atas martabat masyarakat di pulau paling timur di Indonesia tersebut. Jika kehormatan orang Papua terusik karena berbagai masalah, katanya, mereka akan mengamuk.
Merujuk pada hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Neles menjelaskan ada empat masalah utama yang dapat mengusik martabat masyarakat Papua selama ini.
"Pertama, adanya kegagalan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kerakyatan, dan infrastruktur di masa lalu. Kedua, diskriminasi terhadap orang asli Papua. Ketiga, kekerasan negara terhadap orang Papua sehingga ada pelanggaran HAM, dan perbedaan tafsir sejarah integrasi Papua ke NKRI," tutur Neles.
Cara paling tepat dan efektif untuk mengatasi masalah ini, kata Neles, adalag dialog inklusif antara pemerintah dan masyarakat Papua.
Dialog tersebut, kata Neles, harus disusun dengan seksama agar dapat berjalan lancar dan minim gesekan. Neles sendiri sudah memiliki road map dialog yang bisa ditawarkan kepada pemerintah.
Langkah pertama dalam panduan gagasan Neles adalah melakukan dialog antara pemerintah pusat dan masyarakat asli Papua. Setelah itu, pemerintah juga harus berdialog dengan wakil dari masyarakat yang berada Papua secara keseluruhan.
"Di sana, mereka semua harus mengidentifikasi masalah apa saja yang ada, bagaimana pemecahannya, perundingan dan kesepakatan seperti apa yang harus dicapai," kata Neles.
Paralel dengan upaya tersebut, pemerintah juga harus mulai mengadakan dialog sektoral yang membahas secara rinci masalah di ranah tertentu.
"Misalnya, pendidikan. Pesertanya bisa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Tinggi, ada juga Dinas Pendidikan di Papua sampai ke kabupaten dan yayasan, serta pakar pendidikan dari Papua dan Jakarta," ujar Neles.
Dalam dialog tersebut, tutur Neles, semua peserta harus mengemukakan rencana mereka dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.
"Harapannya, dengan pendekatan yang baik, dialog ini akan menghasilkan rekonsiliasi dengan masyarakat Papua yang sekarang masih membangkang," ucap Neles.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan bahwa skema dialog ini bisa sangat berhasil jika dijalankan dengan baik. Bonar mengatakan, pemerintah jangan terlalu memusingkan berbagai kemungkinan kegagalan dalam dialog.
"Yang penting buka dulu dialog. Jangan seperti sekarang, seperti tidak membuka kesempatan untuk berdialog. Kegagalan itu biasa, seperti yang terjadi di Aceh, berganti tim mediasi beberapa kali, tapi tetap berhasil pada akhirnya. Di Papua juga bisa begitu," katanya.
Sorotan Internasional
Neles kemudian mengatakan, dialog ini harus segera dilakukan karena masalah Papua sudah menjadi sorotan internasional. Untuk pertama kalinya setelah 46 tahun, konflik di Papua kembali menjadi sorotan dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada September lalu.
Terakhir kali, Papua menjadi sorotan PBB pada 1970. Kala itu, hasil pililihan masyarakat Papua untuk bergabung dengan NKRI dibawa ke PBB.
Empat dekade kemudian, nama Papua kembali disebut-sebut oleh sejumlah enam negara Pasifik, yaitu Kepulauan Solomon, Republik Vanuatu, Republik Nauru, Republik Kepulauan Marshall, Kerajaan Tonga, dan Tuvalu. Mereka mempertanyakan kasus pelanggaran HAM yang terus terjadi di Papua.
Menurut Neles, mereka menyuarakan penderitaan masyarakat Papua karena merasa satu ras, yaitu Melanesia. Mereka, kata Neles, tidak rela melihat saudaranya menderita.
"Sebelum masalah Papua ini semakin mendunia, harus ada langkah konkret dari pemerintah untuk berdialog agar pemerintah tidak 'diadili' oleh dunia," kata Neles.
Momentum tepat
Senada dengan Neles, Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute, Romo Benny Soesetyo, juga mendesak pemerintah untuk segera melakukan dialog karena sekarang merupakan momentum yang tepat.
"Sejak awal, Jokowi sudah menunjukkan komitmennya dengan mengunjungi Papua. Sudah ada kepercayaan dari masyarakat Papua kepada Jokowi. Sekarang waktu yang tepat, apalagi sudah ada dukungan politik yang kuat," ucap Benny.
Mengamini pernyataan Benny, Bonar pun mengakui, posisi politik Jokowi sudah baik. "Waktu awal Jokowi menjabat, parlemen dan partai terbelah dua, tapi sekarang kita lihat Golkar saja sudah menunjukkan dukungan. Posisi Jokowi sudah kuat," katanya.
Melihat peta politik dan alternatif dialog yang sudah terbuka, Benny yakin perdamaian di Papua akan segera terwujud.
"Saya yakin, dan jika benar terjadi dalam tahun ini, Jokowi akan mencetak sejarah. Dia mungkin bisa mendapatkan Nobel Perdamaian pada 2017," ucap Benny.
cnn/radarriaunet.com