RADARRIAUNET.COM - Korban kasus penghilangan paksa 1998, Mugiyanto, menyatakan para korban pelanggaran hak asasi manusia tidak mungkin bermusyawarah dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.
Pernyataan ini terkait salah satu rencana Wiranto yang berniat menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dengan cara musyawarah.
"Apakah mungkin kita bermusyawarah, bernegosiasi dengan orang yang diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia? Ini pertanyaan besar kalangan korban. Secara moral hal ini tidak adil dan lebih menyakiti korban," kata Mugiyanto di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, kemarin.
Wiranto dianggap tak memiliki kewenangan melakukan hal itu. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, kata Mugiyanto, harus berada di bawah kendali Presiden Joko Widodo.
"Menurut saya ketika ada tawaran untuk bermusyawarah, maka ruangnya bukan di Menko Polhukam, tapi di kantor kepresidenan," ujar mantan ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).
Mugiyanto mengatakan, visi Presiden Jokowi sudah klir untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Hal itu tercantum dalam Nawacita, RPJMN, dan terakhir tercatat pada 11 Desember 2015 akan menyelesaikan kasus HAM masa lalu baik secara dengan yudisal dan nonyudisial.
Wiranto sempat menyatakan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dapat diselesaikan melalui jalur nonyudisial yaitu secara musyawarah. Mekanisme ini berbeda dengan penanganan yudisial.
Wiranto mengatakan, mekanisme yudisial menghasilkan pihak yang kalah dan menang dalam pengadilan. Sementara penyelesaian secara nonyudisial dinilai saling menguntungkan kedua pihak yang bersengketa karena melalui musyawarah dan mufakat.
“Tatkala pengadilan tidak bisa, maka seharusnya kita kembali pada apa yang sudah ada pada diri kita (Indonesia), penyelesaian secara musyawarah dan mufakat,” ujar Wiranto beberapa waktu lalu.
Aktivis HAM Usman Hamid menilai rencana Wiranto itu bertolak belakang dengan janji Presiden Jokowi yang akan menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dengan cara yudisial dan nonyudisial. Komitmen itu disampaikan Jokowi pada peringatan Hari HAM 2015.
"Apabila Menko Polhukam sekarang mengatakan (penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM) hanya nonyudisial itu jelas bertentangan dengan komitmen presiden," kata Usman.
Eks Koordinator KontraS ini menyebut tindakan negara dalam penyelesaian kasus HAM harus dilandaskan pada kerangka konstitusional, legal, dan institusional.
Penyelesaian secara konstitusional dilakukan karena Indonesia merupakan negara hukum. Sementara di jalur legal, upaya penyelesaian kasus HAM harus merujuk pada undang-undang yang berlaku.
Dengan demikian secara institusional, pelibatan lembaga negara dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut sejalan dengan aturan undang-undang.
Dalam kasus Tragedi 1965 misalnya, beberapa lembaga yang berwenang seperti Komnas HAM, Kejaksaan Agung wajib mengungkap tragedi tersebut.
"Jadi bukan sebuah tim tanpa landasan legal di dalam Menko Polhukam," ujar Usman.
Sementara tokoh HAM HS Dillon mengatakan, pelaksanaan mekanisme nonyudisial bukan berarti melupakan kaidah dasar penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Prosedur tetap harus dijalankan untuk memulihkan nama baik korban, memberikan kompensasi, dan mengupayakan agar kasus serupa tidak terulang di kemudian hari.
"Boleh nonyudisial, tetapi tetap harus ada pengungkapan fakta, tetap orang harus tahu apa yang terjadi," kata Dillon.
cnn/radarriaunet.com