Senin, 24 Agustus 2015|15:52:28 WIB
Jakarta (RRN) - Perekonomian Indonesia yang terus mengalami perlambatan sejak kuartal I-2015 sampai saat ini memberikan dampak tersendiri, yakni tingkat kesejahteraan masyarakat terus mengalami penurunan. Jika hal ini terus terjadi, ditakutkan mendorong terjadinya krisis seperti yang pernah terjadi di 1998.
Ekonom Indef Enny Sri Hartati menjelaskan, indikator tingkat kesejahteraan masyarakat yang terpantau terus mengalami penurunan tidak menutup kemungkinan akan memicu krisis seperti era Presiden Soeharto. Apalagi, bila hal itu diperparah dengan kondisi anjloknya pergerakan nilai tukar rupiah yang tembus level Rp14.000 per USD.
"Pada krisis 1998, likuiditas perbankan tipis sehingga tidak mampu biayai sektor riil dan dampaknya pada pengangguran yang meningkat, kemiskinan meningkat, itu yang mendorong krisis sosial," kata Enny, ketika ditemui dalam acara konferensi pers bertajuk "Indikator Kesejahteraan Memburuk", di Kantor Pusat Indef, Jakarta, Senin (24/8/2015).
Menurutnya, jika kondisi ini dibiarkan terus menerus oleh pemerintah, maka potensi krisis 1998 maka akan terjadi. Karena itu, Bank Indonesia (BI) sebagai regulator memiliki peranan penting untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah agar dampaknya tidak mengurangi daya beli masyarakat.
"Pasti ada potensi kalau tidak ditangani. Rupiah itu hanya trigger, tetapi bagaimana supaya menahan rupiah tidak berimplikasi mengurangi daya beli dan investasi. Itu yang harus dilakukan," pungkasnya.
Seperti diketahui, hari ini rupiah menembus level Rp14.000 per USD. Mengutip data Bloomberg, Senin 24 Agustus, rupiah saat ini berada di posisi Rp14.036 per USD atau melemah 95,3 poin yang setara dengan 0,68 persen.
Sementara berdasarkan data Yahoo Finance, rupiah dibuka di level Rp14.085 per USD dan akan semakin melemah. Rupiah bahkan ambles 260,5 poin atau setara 1,88 persen jika dibandingkan dengan pergerakan sebelumnya. (mtvn/n)