Indonesia Butuh Salesman Kebijakan Publik, Bukan Pemburu
Presiden Joko Widodo (tengah) mengumumkan paket kebijakan ekonomi, didampingi para petinggi kementerian dan lembaga terkait di Istana Negara. cnn

Indonesia Butuh Salesman Kebijakan Publik, Bukan Pemburu

Kamis, 15 September 2016|09:54:01 WIB




RADARRIAUNET.COM - Sepulang dari kunjungan luar negeri, pada sidang kabinet paripurna, di Istana Negara, Jakarta, Jumat (9/9) pagi Joko Widodo memberikan pesan kepresidenan tentang betapa kompetisi antar negara sangat sengit.

Betapa nanti pertarungan antar negara dalam hal perebutan kue ekonomi, baik berupa investasi, baik berupa arus uang masuk, arus modal masuk itu, sangat sengit, sangat sengit sekali. Ini adalah sebuah direktif yang harus direspon dalam suatu kebijakan.

Permasalahannya, bagaimana dengan direktif yang kurang berhasil sebelumnya: paket deregulasi dan tax amnsety? Ada perspektif di sektor bisnis yang menarik dipelajari:salesmanship.

Kisah Penjual
Sharon Drew Morgen dalam Dirty Little Secret (2013) dengan baik menjelaskan mengapa pembeli tidak dapat membeli dan penjual tidak dapat menjual. Wanita yang menjadi salah satu praktisi penjualan –bukan konsultan, tetapi penjual!—terbaik Amerika ini mengatakan dengan frontal bahwa kebanyakan penjual berfikir dan bekata bahwa pembeli itu bodoh, dan berfikir dan berkata bahwa mereka penjual adalah orang-orang cerdas. Padahal yang dilakukan pembeli adalah mereka membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan penjual. Mereka adalah pembeli yang membuat keputusan dengan kriteria-kriteria yang tidak dikehendakinya, tidak dikenalnya.

Sementara, penjual menjadi orang bodoh karena menghabiskan waktu dengan berharap dan kemudian menjadi korban keadaan. Penjual menjadi bodoh karena tidak membantu pembeli melakukan pembelian.

Pertanyaan kita para pengajar, pembelajar, dan praktisi kebijakan publik adalah pernahkah kita belajar menjadi penjual yang baik terhadap kebijakan-kebijakan publik? Bahkan, lebih tinggi lagi, pernahkah kita menjadi pemasar yang baik terhadap kebijakan-kebijakan publik?

Pengalaman saya dan pengalaman sejumlah praktisi bisnis, menjual lebih sulit daripada memasarkan.

“Pikiran saya hanya bertarung, bertarung, dan bertarung sampai lawan kalah, atau kita yang kalah dan saya dipecat dari perusahaan, sementara kepala pemasaran tidak pernah mau tahu mengapa produk kita tidak dibeli,” kata Andi, seorang kawan, salesman, penjual yang tangguh menceritakan masa lalunya.

Menjual mempunyai indikator kinerja yang sangat jelas dan sangat terukur: berapa banyak Anda sudah menjual produk barang dan/atau jasa Anda.

Penjual gerai ayam goreng Chicago Fried Chicken dinilai dari berapa potong ayam goreng yang dijualnya. Penjual salon potong rambut Johny Andrean dinilai dari berapa banyak pelanggan datang dan minta jasa gunting rambut, creambath, mengecat rambut, dan manikur-pedikur.

Pemasar mempunyai ukuran yang lebih banyak dan lebih abstrak, yaitu 4P: product, price, place, dan promotion, sehingga tidak dapat disalahkan begitu saja karena penjualan yang rendah. Kesalahan lebih banyak ditimpakan kepada “penjual yang bodoh” di bawahnya.

Bagaimana dengan kebijakan Tax Amnesty yang pencapaiannya baru sekitar 5 persen dari total target dari Presiden Jokowi? Bagaimana dengan 13 paket kebijakan ekonomi yang masih terus dijual dan belum menunjukkan prospek yang sangat memadai seperti yang diharapkan Presiden? Di mana masalahnya? Saya mengundang untuk masuk ke perspektif penjual.

Mindset Pembuat Kebijakan Publik
Setelah dibuat, kebijakan publik kemudian disosialisasikan. Bagi warga yang ikut melaksanakan tidak diapa-apakan, bagi yang tidak ikut apalagi melawan, dapat dihukum.

Itulah sebabnya kebijakan publik banyak gagal karena mindset-nya adalah mindset pemburu. Mereka membawa senapan laras panjang dengan teleskop di atasnya meneropong sana-sini mencari mangsa. Jika ketemu dengan hewan buruan, apalagi yang gemuk, tanpa ampun ditembak di tempat paling vital agar mati dengan segera. Ada juga pemburu yang ganas, yang tega membunuh induk hewan incaran yang sedang menyusui anaknya, tanpa berfikir setelah si induk mati, anaknya mati segera karena tidak mendapatkan susu dan perlindungan di alam yang terbuka dan buas.

Sementara itu, dengan sangat terbuka dan terus menerus mempromosikan diri bahwa mereka adalah pelayan publik, pelayan masyarakat. Seperti pemburu yang memakai dedaunan agar mereka tersamar dan dapat mendekati sasaran dengan efisien. Kadang mereka mengeluarkan suara-suara yang disukai hewan buruan agar mendekat dan dapat ditembak dihabisi.

Para pembuat kebijakan publik (policy makers) seringkali lupa bahwa kebijakan publik adalah kebaikan bersama, bukan kebaikan diri dan kelompoknya. Jargon “visi” dan “strategi”, bukanlah pembenaran bahwa kebijakan publik tidak berbeda dengan selera kekuasaan yang identik dengan selera pemburu.

Pembuat kebijakan adalah politisi. Mereka bertarung dengan ketat untuk mendapatkan puncak kekuasaan. Proses pertarungan membuat mereka mempunyai insting pemburu dan pembunuh dari pada insting membangun, menyelamatkan, dan menghebatkan publik. Ironi politik demokrasi, terlebih demokrasi langsung, terbuka, dan liberal membuka ruang bagi pertarungan brutal yang menghasilkan policy-makers yang brutal pula.

Kebijakan-kebijakan yang dihela oleh pusat-pusat keuntungan ekonomi yaitu para suplieratau vendor driven policy ditutup dengan mantra “kebijakan visioner”. Kebijakan ini bertebaran di sejumlah kementerian di Pusat dan Pemerintah-Pemerintah Daerah hingga desa-desa dan kasat mata.

Revolusi Mental
Presiden Jokowi sudah memerintahkan agar ada revolusi mental. Revolusi mental perlu dimulai dari para pembuat kebijakan untuk berubah dari mental pemburu ke mental penjual –minimal pemasar.

Penjual yang buruk berusaha menipu pembelinya dengan memberikan informasi yang tidak lengkap, termasuk dengan kalimat kecil di bawah brosur “syarat dan ketentuan berlaku”. Penjual yang baik tahu bahwa tugasnya adalah membantu pembeli menyelesaikan masalahnya dengan baik sesuai dengan portofolio pembeli.

Pelanggan saya, pedagang kelontong asesoris komputer, jika saya hendak membeli sejumlah flashdisc selalu bertanya untuk siapa dan berapa bujetnya. Ia kemudian memilihkan sejumlah produk yang sesuai dengan kebutuhan dan uang saya.

Pembuat kebijakan yang baik adalah mereka yang mempunyai kemampuan kognitif untuk berempati dengan publik yang hendak menjadi pengguna kebijakannya –dan bukan mangsa kebijakannya.

Ia memikirkan batas-batas kemungkinan dan ketidakmungkinan, membangun manajemen risiko, dan memastikan kebijakannya diterima (dibeli) dengan suka-hati serta menghebatkan kehidupan bersama. Dengan demikian pertama-tama berfikir sebagai seorang penjual, kemudian pemasar. Penjual yang baik peduli dengan kebutuhan pelanggan.

Pemasar yang baik tahu bagaimana kebutuhan pelanggan. Pembuat kebijakan ketika berfikir sebagai penjual akan peduli dengan kebutuhan publik, termasuk kebutuhan tak terlihat dan kebutuhan di masa depan. Selanjutnya, ketika pembuat kebijakan berfikir sebagai pemasar, ia tahu bagaimana produk yang baik, biaya yang harus ditanggung publik, tepat di mana publik dikenalkan dengan kebijakan, dan mempromosikan kebijakan publik.

Model dan cara berfikir atau mindset pembuat kebijakan membuat kebijakan yang dibuatnya lebih relevan dan lebih mudah “dipasarkan” dan “dijual” oleh para pelaksana kebijakan di bawah, dan diterima masyarakat dengan tangan terbuka sebagai sebuah upaya bersama membaikkan dan menghebatkan bangsa.

Kebijakan publik mempuyai empat lima jenjang yang berurutan dari yang paling bawah atau rendah ke yang paling tinggi, yaitu: pengetahuan, keilmuan, praktek, seni, dan seni-tertinggi (fine-art).

Kebijakan yang gagal atau memberi sedikit kebaikan kepada kehidupan bersama ada di jenjang-jenjang rendah. Ketika masuk ke jenjang lebih tinggi, art dan fine art, diperlukan kesediaan untuk mengambil keunggulan dari keilmuan dan praktek dari disiplin lain.

Pada konteks ini dari disiplin penjualan. Dan, itu hanya salah satunya saja. Masih ada disiplin lain yang perlu dikapitalisasi oleh para praktisi, pembelajar, dan pengajar kebijakan publik.

Presiden Jokowi dan Tim Kabinet, para pembuat kebijakan publik, perlu menggunakan perspektif penjual dalam menentukan prioritas kebijakan di era hiperkompetisi, dengan tidak sekedar menunjuk sektor ini dan itu, agar tidak mudah dijebak para vendor dengan kepentingannya sendiri, termasuk para informan dari negara seberang yang dengan baiknya membingkai pesan-pesan yang sesuai dengan kepentingan mereka, bukan kepentingan rakyat Indonesia sebagai “pembeli” kebijakan publik Pemerintah Indonesia.


cnn/fn/radarriaunet.com







Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita EKONOMI

MORE

MOST POPULAR ARTICLE