Sabtu, 10 September 2016|14:44:30 WIB
RADARRIAUNET.COM - Indonesia baru saja punya dan mulai menjalankan amanah Undang-Undang Desa. Semangat membangun desa pun digelorakan. Tetapi tunggu dulu, marilah pertama-tama kita sedikit mengurai ujung-pangkal persoalan, mengapa desa-desa kita banyak yang ketinggalan dalam banyak perkara?
Jawabannya: karena memang berpuluh tahun Indonesia merdeka, desa "ditinggalkan". Selama berpuluh tahun pemerintahan yang cenderung sentralistik "pusat-daerah" seakan mencabut hak warga desa untuk "berproses" sebagai subjek. Desa diposisikan sebagai komunitas warga yang harus menerima keputusan "pusat", bahkan dihukum bila tidak mengikuti "kebijakan".
Sebagai objek semata, sumber daya alam desa diambil alih dengan dalih pembangunan atau untuk kepentingan investor dengan meminggirkan hak-hak warga desa sebagai individu maupun sebagai komunitas. Tanah, mata air, pasir, batu, kapur, gunung dan pantai, semua yang bisa diambil dari orang-orang desa, diambil.
"Pusat-daerah" melahirkan daerah-daerah "pinggiran". Akses dalam hampir semua aspek makin terbatas manakala makin jauh dari pusat, apalagi yang terpencil, terluar, terjauh. Belum lagi kantong-kantong suburban di mana desa-desa disedot sumber dayanya untuk kota di dekatnya, yang kemudian melahirkan desa-desa suburban yang miskin, pendidikan rendah, tak punya keterampilan, dan terperangkap dalam jerat "cara hidup kota" di mana semua kebutuhan dasar harus diakses dengan uang.
Satu lagi: karena pusat kebanyakan adalah orang-orang yang terbiasa hidup di daratan luas, keputusan strategi pembangunan Indonesia juga sarat dengan bias daratan. Sistem transportasi kita secara nasional belum bagus, tapi transportasi laut bukan main jeleknya bila dibandingkan dengan kenyataan wilayah kita banyakan lautnya daripada daratan, dan bahwa kita terdiri atas 17.000 pulau. Perspektif pusat-daerah ditambah bias daratan ini menjadikan desa-desa kepulauan kian tertinggal, tak terjangkau, dan nyaris terisolasi.
Dalam konteks desa selama ini "ditinggalkan", adanya Nawacita yang memproklamirkan membangun dari pinggiran mengisyaratkan sebuah momentum yang membalik seluruh paradigma puluhan tahun ini.
Momentum Nawacita
Mewujudkan Nawacita ketiga membangun dari pinggiran tentu prosesnya tidak semudah menyibak poni di dahi. Karena, desa adalah komunitas warga dalam sebuah wilayah di mana seluruh aspek ada di dalamnya. Perlu kehati-hatian untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, melihat desa hanya sebagai objek.
Maka, hal terpenting yang harus mewujud dari Nawacita ketiga ini adalah mengembalikan hak dasar warga desa sebagai individu dan komunitas, untuk kembali menjadi subjek. UU Desa sudah memberi fondasi yang tepat sebagai bentuknya, yaitu menetapkan musyawarah desa sebagai dasar dari seluruh keputusan yang diambil di level desa. Melalui musyawarah dusun dan musyawarah desa, maka hak warga desa untuk berproses, berpartisipasi aktif, belajar, dan terus mengembangkan infrastruktur sosial mereka, dikembalikan.
Bagaimana agar proses musyawarah desa benar-benar mencerminkan hasil musyawarah warga dan bukan sekadar formalitas yang hanya melibatkan segelintir elite desa? Caranya adalah dengan membentuk kelompok-kelompok warga yang selain berfungsi sebagai wadah bermusyawarah untuk yang terkait hak-hak berpolitik warga, juga sebagai wadah pengembangan diri secara sosial, budaya, bahkan ekonomi.
Adanya instrumen dana desa yang diamanahkan UU Desa sangat strategis untuk proses percepatan berbagai sektor di desa. Tetapi adanya dana desa sekaligus memberi peluang yang sangat besar terjadinya kesalah-penggunaan yang disebabkan oleh infrastruktur sosial desa yang secara umum masih relatif lemah, sehingga lemah pula kontrol sosial atas pengelolaan dana desa. Itulah sebabnya proses membangun infrastruktur sosial berupa musyawarah dusun dan musyawarah desa yang berkualitas mutlak penting untuk dikebut pematangannya. Infrastruktur sosial yang kuat akan memastikan seluruh sektor berjalan dengan efektif. Dan sebaliknya.
Hal kedua yang terpenting dalam membangun dari pinggiran ini adalah mengejar ketinggalan infrastruktur fisik dasar yang paling menentukan kemampuan desa mengembangkan dirinya, seperti pangan, air bersih, sanitasi, kesehatan dasar, pendidikan dasar, energi (setidaknya untuk penerangan dan memasak), dan keterhubungan (jalan yang layak dan sarana komunikasi). Jangan ditunda. Karena setiap aspek dasar ini satu dengan yang lain saling terkait dan saling menentukan efektivitas proses percepatan pembangunan di desa. Termasuk dan terutama aspek satu lagi yang juga superpenting, yaitu infrastruktur ekonomi.
Ekonomi di desa
Setelah infrastruktur sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar, hal ketiga terpenting untuk segera dibenahi di desa adalah sektor ekonomi desa. Namun harus lagi-lagi dipahami, ekonomi desa di sini bermakna kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh kekuatan warga desa. Bukan kegiatan ekonomi yang dilaksanakan di desa, tapi warga desa hanya berfungsi sebagai buruh. Sumber daya desa, dikelola oleh warga desa.
Apakah memungkinkan dilaksanakan percepatan dalam hal ekonomi desa berbasis kekuatan warga desa? Sangat mungkin. Melalui kelompok-kelompok warga dilaksanakan percepatan proses peningkatan keberdayaan warga dalam mengelola sumber daya dan meningkatkan kemampuan profesionalismenya. Sebagai kelompok ekonomi, kelompok warga bisa didampingi untuk menyelenggarakan simpan-pinjam (cikal bakal lembaga keuangan mikro berbasis warga), atau kegiatan produksi, atau bahkan hingga penguasaan atas rantai pasok pascaproduksi. Warga desa, baik secara individu maupun sebagai kelompok usaha, nantinya dapat mengembangkan diri menjadi koperasi primer.
Pada tahap berikutnya, koperasi-koperasi primer di desa dapat menggabung menjadi koperasi sekunder yang sekaligus berfungsi sebagai Bumdes (Badan Usaha Milik Desa). Koperasi sekunder desa berfungsi sebagai penyedia fungsi-fungsi yang dibutuhkan oleh kumpulan usaha warga desa. Dengan basis komunalitas inilah usaha berbasis warga dan komunitas desa dapat memenuhi skala ekonomi untuk produksi dan rantai pasok untuk memenuhi kebutuhan konsumen dari lokal hingga ekspor.
Koperasi Sekunder Desa (yang juga adalah Bumdes) pun dapat melaksanakan kerja sama usaha dengan perusahaan skala menengah dan besar. Lebih bagus lagi bila koperasi desa/Bumdes makin banyak bekerja sama dengan berbagai jenis koperasi lainnya, baik itu koperasi produksi, koperasi konsumen, koperasi distribusi, dan seterusnya. Makin sempurnalah bentukan sistem sosio-ekonomi nasional kita.
Dengan bangunan sedemikian, sesungguhnya kita juga tengah membalik paradigma tentang" lapangan kerja" dan "tenaga kerja". "Lapangan kerja" adalah segala bentuk usaha yang dibuka oleh warga desa sendiri, dan "tenaga kerja" adalah seluruh angkatan kerja desa yang menciptakan lapangan kerjanya sendiri.
Bila pada tahun pertama 10 persen dari 74 ribu desa mampu mengkreasikan lima lapangan kerja baru yang memberi pekerjaan bagi masing-masing 10 orang warga desa, maka akan tersedia 370 ribu lapangan pekerjaan dan 3.700. 000 tenaga kerja terserap. Pada tahun kedua dan seterusnya, akan terjadi peningkatan eksponensial, karena tiap desa akan terus mengembangkan kemampuan produksi dan rantai pasoknya. Kerja sama antardesa, pengembangan model usaha yang tak terbatas pada batas desa, dan kelembagaan serta profesionalisme pun makin berkembang. Semua warga, secara sendiri dan bersama- sama, berkesempatan berkembang tanpa perlu saling menindas.
Dalam bentukan sosio-ekonomi seperti di atas, tidak ada unsur masyarakat desa (bahkan juga di kota) yang tidak ikut dalam percepatan ekonomi nasional, yang berbasis ekonomi solidaritas warga atau gotong royong. Bukan berbasis menajamkan kompetisi antarpelaku usaha. Dengan pembangunan infrastruktur sosial dan ekonomi yang berkelindan dengan cantik ini, kita membangun sistem sosio-ekonomi yang menjauh sejauh-jauhnya dari pengisapan manusia atas manusia lainnya, exploitation de l'homme par l' homme. Inilah sejatinya bangunan sistem ekonomi impian kita.
Dewi Hutabarat
Pengurus Kadin, Wakil Ketua Komisi Tetap Ekonomi Kerakyatan dan Koperasi, Direktur Eksekutif Sinergi Indonesia Foundation/rol