Rabu, 07 September 2016|16:16:02 WIB
RADARRIAUNET.COM - Sepekan setelah dilantik menjadi menteri keuangan, Sri Mulyani Indrawati langsung merombak APBNP 2016. Target yang dibidik adalah kredibilitas. Dalam pemikiran Menteri Keuangan, penguatan kredibilitas harus dimulai dari angka-angka APBN yang lebih bisa mencerminkan realitas ekonomi.
Perhitungan penerimaan pajak, misalnya, menggunakan angka estimasi alih-alih realisasi tahun sebelumnya. Alhasil, sisi penerimaan dipangkas sebesar Rp 219 triliun bahkan setelah estimasi penerimaan dari pengampunan pajak.
Sebagai konsekuensinya, pagu belanja pemerintah juga disesuaikan sebesar Rp 133,8 triliun. Kemungkinan pemotongan belanja ini akan bertambah besar lagi jadi Rp 137,6 triliun pascapenundaan DAU dan dana desa.
Tidak hanya itu, pemerintah tampaknya juga semakin realistis terhadap target pertumbuhan ekonomi 2016. Menteri Keuangan mengaku pihaknya telah melakukan evaluasi terhadap kondisi ekonomi terkini. Hasilnya, target pertumbuhan ekonomi tahun ini yang dalam APBNP 2016 tercatat sebesar 5,2 persen dipangkas jadi 5,1 persen.
Hal yang sama juga terjadi pada RAPBN 2017. Sesuai nota keuangan dan RAPBN yang disampaikan dalam pidato kenegaraan Presiden, 16 Agustus, pertumbuhan ekonomi 2017 dipatok 5,3 persen. Dalam rapat pembahasan dengan DPR awal September, Menteri Keuangan belakangan merevisi target pertumbuhan ekonomi jadi 5,2 persen.
Jika dikomparasikan, angka sasaran pertumbuhan ekonomi di atas sejatinya masih berada dalam koridor prediksi berbagai lembaga resmi. Bank Indonesia, misalnya, merilis estimasi pertumbuhan ekonomi antara 4,9 persen-5,3 persen. Bank Dunia dalam laporan Prospek Ekonomi Global edisi Juni memproyeksikan 5,1 persen turun dari laporan Januari sebesar 5,3 persen.
Artinya, selisih 0,1 persen sesungguhnya bukanlah sesuatu yang luar biasa. Namun demikian, fenomena di atas menunjukkan sikap konservatif pemerintah terhadap asumsi yang dipakai dalam penyusunan RAPBN. Per definisi, asumsi adalah dugaan awal yang diterima sebagai dasar berpijak. Intinya, asumsi adalah rujukan untuk perkiraan ke depan.
Perkiraan ke depan semacam ini implisit mengandung unsur "tebakan" yang bersifat probabilistik. Perkiraan tersebut bisa jadi tebakan biasa (pure guess) atau bahkan asal menebak yang maknanya berimpit dengan spekulasi. Pendekatan ini sering memberikan hasil yang meleset daripada tepat. Kalaupun jitu, hal itu hanyalah kebetulan.
Tebakan saintifik lebih dapat dipertanggungjawabkan secara logika karena memakai pendekatan keilmuan. Metode ini mempergunakan sehimpun data dan informasi relevan yang dikumpulkan secara cermat. Kelebihan estimasi ini adalah membuka peluang inventarisasi berbagai skenario.
Asumsi ini nantinya belum tentu sama dengan kenyataan. Namun begitu, kesalahan prediksi yang muncul pun masih tetap berada dalam kalkulasi pengembangan skenario. Ringkasnya, asumsi memberikan panduan jalan keluar guna mengantisipasi berbagai persoalan yang timbul jika asumsi tidak terpenuhi.
Dalam konteks ini, revisi asumsi pertumbuhan ekonomi sebelum RAPBN disahkan secara tidak langsung menunjukkan tekad pemerintah untuk menjaga kredibilitasnya. Perubahan di tengah jalan, apalagi menyangkut angka yang urgen, bukan mustahil ditafsirkan sebagai inkonsistensi kebijakan yang potensial memicu ketidakpercayaan publik.
Dengan memasang asumsi 5,2 persen yang lebih tinggi daripada APBNP 2016, tampaknya pemerintah hendak mengirim sinyal optimisme kepada semua pelaku ekonomi di saat perekonomian global, nasional, dan regional masih mengalami perlambatan. Secara politis, hal ini diperlukan untuk menumbuhkan semangat.
Semangat dan kepercayaan publik adalah prasyarat bagi efektivitas sebuah kebijakan. Kebijakan yang bersentuhan langsung dengan publik adalah pajak. Dengan skenario ini, pemerintah menghitung pertumbuhan alami penerimaan perpajakan, yaitu angka asumsi pertumbuhan ekonomi plus laju inflasi tanpa ada upaya ekstra (tax effort).
Berpedoman pada target pajak APBNP 2016 dan asumsi inflasi (4 persen) ditambah pertumbuhan ekonomi (5,2 persen) mengharuskan penerimaan pajak 2017 sebesar Rp 1.680,8 triliun. Artinya, dengan menggunakan asumsi yang (dianggap) realistis pun pemerintah sejatinya menskenariokan dirinya untuk mampu mengumpulkan penerimaan pajak ekstra yang gilirannya membebani masyarakat.
Beban masyarakat berlanjut pada nilai absolutnya. Data BPS menunjukkan, PDB 2015 sebesar Rp 11.540,8 triliun. Dengan pertumbuhan ekonomi mengikuti asumsi pemerintah setinggi 5,1 persen pada 2016 dan 5,2 persen pada 2017, PDB akan mencapai Rp 12.760 triliun. Dengan target rasio pajak 13 persen, penerimaan pajak minimal Rp 1.588,8 triliun yang tetap saja lebih tinggi dari target Rp 1.495,9 triliun.
Alhasil, setiap asumsi yang dipakai niscaya membawa konsekuensi. Pemerintah, DPR, atau para pemangku kepentingan masih bisa memilah asumsi pertumbuhan ekonomi yang optimistis atau pesimistis. Akan tetapi, mereka tidak bisa memilih atas konsekuensi yang membuntutinya. Persoalannya adalah apakah mereka siap dengan akibat dari perbedaan asumsi pertumbuhan ekonomi.
Harus diakui, pertumbuhan ekonomi bukan murni variabel endogen yang seutuhnya berada dalam kendali pemerintah dan DPR. Banyak faktor eksogen yang ikut menentukan besaran pertumbuhan ekonomi yang mayoritas berada di luar ranah pemerintah. Anehnya, angka asumsi ini malah dipakai sebagai ukuran kinerja pemerintah.
Dalam perspektif yang lebih luas, tarik-ulur asumsi pertumbuhan ekonomi dalam revisi RAPBN 2017 merupakan cermin dari informasi yang tidak simetris antara pemerintah, DPR, dan semua pemangku kepentingan. Akibatnya, sinkronisasi menjadi barang langka di negeri ini. Jika muncul masalah di kemudian hari, ujung-ujungnya adalah saling menyalahkan satu sama lain.
Alhasil, RAPBN 2017 yang final nantinya merupakan produk dari proses kompromi politik antara dua institusi yang berbeda informasi. Artinya, RAPBN 2017 menjadi akibat alih-alih sebagai sebab. Esensinya adalah cara mewawas terhadap asumsi yang dipakai. Apabila esensi penyebab perbedaan asumsi telah teridentifikasi, reliabilitas kebijakan APBN akan tercapai.
Kebijakan APBN dengan skenario pesimistis-optimistis atau realistis-konservatif sama-sama tidak enak. Sejujurnya, perekonomian Indonesia saat ini tidak sedang dalam kemewahan yang bergelimang dengan banyak pilihan. Pilihannya hanya ada dua, yaitu terus memperdebatkan asumsi yang sejatinya adalah persepsi ataukah serius merealisasikan outcome riilnya.
Haryo Kuncoro
Dosen Keuangan Negara Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta/rol