Sabtu, 03 September 2016|15:03:26 WIB
RADARRIAUNET.COM - Tahun ini Indonesia memperingati 71 tahun kemerdekaan dengan penuh refleksi. Arah bangsa ini semakin banyak mendapatkan tantangan zaman. Tampaknya sebagian elite dan rakyat kita seperti mengalami disorientasi dalam membangun sistem politiknya. Ini jelas merupakan langkah-langkah yang akan membawa Indonesia dalam turbulensi perubahan sosial baru.
Salah satu indikator adanya disorientasi pembangunan bangsa di bidang politik dengan diwacanakannya kembali pemilihan umum (pemilu) dengan sistem nomor urut. Dengan sistem ini, penentuan calon terpilih tidak lagi berdasarkan suara terbanyak seperti Pemilu 2009 dan 2014. Kita akan kembali mengenal istilah seperti nomor topi dan nomor sepatu. Atau istilah lain seperti calon jadi dan calon yang sekadar dipinjam namanya.
Wacana ini jelas merupakan langkah mundur. Kita sudah lelah mempromosikan sistem pemilu yang lebih adil, di mana setiap calon mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa maju sebagai anggota legislatif. Kita juga telah berusaha sekuat tenaga agar rakyat punya kesempatan dan kebebasan untuk memilih wakil-wakilnya sendiri, mengurangi peran-peran elite partai untuk menguasai seluruh sumberdaya politik.
Kembalinya wacana sistem pemilu dengan nomor urut ini akan menimbulkan beberapa dampak. Pertama, wacana ini akan menjadi perwujudan dari politik kekuasaan kaum elite. Para elite yang yang punya akumulasi sumber daya yang berlimpah akan bisa menguasai konstruksi penyusunan calon dalam internal partai.
Kedua, sistem ini jelas akan mempersulit terjadinya regenerasi politik baik dalam internal partai maupun sistem politik secara umum.
Ketiga, aturan sistem pemilihan akan mengambil hak rakyat dalam menentukan calon wakil-wakilnya. Elite partailah yang akan mengambil bagian itu dan dengannya akan menentukan arah politik ke depan. Sistem Pemilu dengan nomor urut diarahkan bukan untuk memberikan kesempatan pada rakyat dalam penentuan wakil, tetapi semata-mata diarahkan bagi kepentingan partai politik.
Keempat, sistem ini, alih-alih menjadi solusi bagi masalah yang ada, justru hanya menyelesaikan persoalan di permukaan. Selama ini sistem tanpa nomor urut dinilai menjadi sumber dari pemilu dengan biaya politk tinggi, timbulnya politik uang dan berbagai dampak negatif di bidang sosial lainnya. Sistem pemilu dengan nomor urut sebenarnya tidak berarti akan berhentinya politik uang. Politik uang tetap akan ada dalam penentuan “calon jadi.”
Menjauhkan Rakyat
Pengalaman di masa lalu, jumlah uang yang ditransaksikan pun tidak kalah besar. Selain itu, politik uang juga akan terjadi lintas partai di mana partai-partai yang dianggap punya peluang lebih besar untuk menjadi pemenang akan “panen” karena akan banyak “menerima pesanan” untuk mengggolkan satu calon. Dalam hal mengurangi potensi negatif secara sosial dan dalam hal penyelenggaraan dalam pemilu mungkin benar, namun hal itu juga berarti menjauhkan rakyat dari politik secara sistematis. Rakyat dikonstruksikan supaya memercayakan segalanya pada partai politik.
Padahal, seperti kita ketahui bahwa masalahnya justru lebih banyak pada kapasitas partai politik, bukan pada rakyat. Selama ini berbagai kajian sudah menunjukkan bahwa belum terkonsolidasikannya demokrasi Indonesia secara substansial lebih disebabkan oleh lemahnya institusionalisasi partai politik.
Rakyat justru menunjukkan tren partisipasi yang makin baik. Jadi, menyalahkan rakyat dan mencoba memenangkan partai politik jelas bukanlah langkah yang tepat. Rakyat yang sudah menunjukkan perbaikan tingkat partisipasi haruslah terus diberikan ruang untuk menentukan nasib mereka sendiri. Sebaliknya, partai politik yang harus melakukan refleksi dan evaluasi agar mampu menjalankan fungsi-fungsinya dalam demokrasi.
Kelemahan lain dari sistem pemilu nomor urut adalah kualitas kompetisi yang makin tidak adil. Selama ini calon anggota legislatif bersaing secara terbuka dalam pasar yang bebas. Mereka bisa bersaing antar-partai maupun dengan sesama anggota partai sendiri. Terlepas dari kekurangan yang ada, persaingan seperti ini jelas membuat kualitas dari calon anggota legislatif akan meningkat di masa mendatang. Memang dalam beberapa Pemilu terakhir hal itu belum terwujud karena beberapa kondisi kontekstual, namun dalam jangka panjang sebenarnya sistem Pemilu tanpa nomor urut akan memberikan keuntungan lebih.
Idealnya ada beberapa kondisi yang membuat sistem pemilu tanpa nomor urut lebih baik.Pertama, kualitas pengawasan dari masyarakat terus meningkat. Selama beberapa Pemilu terakhir memang masyarakat cenderung memilih wakil-wakil yang punya citra simbolistik yang lebih besar. Akibatnya, para calon anggota legislatif berusaha memoles dirinya menjadi seperti citra simbolis yang diharapkan masyarakat tersebut. Ada yang menampakkan diri sebagai orang yang agamis, bijak, atau bahkan hal-hal yang remeh seperti penonjolan fisik.
Opini masyarakat yang masih sebatas menilai pada simbol-simbol dan bukan substansi ini kemudian membuat terjadi upaya “pencitraan” guna merekayasa pilihan publik. Namun di masa depan, fokus pada simbol-simbol yang hanya merupakan permukaan akan terus berkurang. Publik akan makin terasah untuk melihat hal-hal yang substantif seperti visi dan misi maupun track record prestasi calon anggota legislatif. Hal ini karena tingkat pendidikan dan kesadaran politik masyarakat semakin tinggi.
Kedua, perkembangan teknologi memungkinkan pengawasan masyarakat akan menjadi lebih baik. Sebelumnya, partai politik, penyelenggara pemilu dan calon-calon yang kuat secara finansial mendominasi penguasaan komunikasi dalam hal-hal yang berkait dengan penyelenggaraan pemilu maupun penghitungan hasilnya.
Sekarang, hal itu makin susah dilakukan, terutama di wilayah-wilayah yang relatif baik infrastruktur komunikasinya. Pengalaman pada Pemilu 2014 yang lalu, partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu dan penghitungan hasilnya nampak sangat luar biasa.
Fenomena kelompok pengawas pemilu macam KawalPemilu menarik dalam hal ini. Mereka membuat jejaring yang memungkinkan masyarakat bisa melihat scan hasil penghitungan pemilu sampai tingkat kelurahan. Memang di beberapa daerah yang belum begitu baik infrastruktur komunikasinya, masih terdapat dugaan pemalsuan atau perekayasaan hasil Pemilu. Namun, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang terus terjadi akan membuat ruang untuk melakukan kecurangan itu akan makin sempit.
Harus Ditolak
Terus meningkatnya kualitas pengawasan dan sarana pengawasan jelas akan berpengaruh pada perhitungan rasional baik di kalangan calon anggota legislatif tetapi juga di kalangan masyarakat. Calon anggota legislatif akan mulai berpikir bahwa persaingan di antara mereka akan sangat ditentukan oleh kualitas visi-misi dan rekam jejak mereka. Sementara itu, di kalangan masyarakat akan timbul kesadaran bahwa mereka perlu lebih jeli dalam memilih calon-calon dikaitkan dengan aspirasi mereka pada hal-hal yang akan menentukan kualitas pemerintahan dalam lima tahun.
Ketiga, sebenarnya dalam perhitungan rasional paling tinggi dalam sebuah partai, dengan jumlah partai peserta Pemilu seperti sekarang, maksimal setiap partai hanya akan bisa mengirim 3-4 wakil saja per dapil untuk menjadi anggota legislatif. Oleh karena itu, seharusnya hal itu tidak kemudian dimanfaatkan sebagai sarana transaksi dengan calon anggota legislatif yang berminat, tetapi diserahkan pada kehendak rakyat yang menjadi “pasar politik.”
Pemilu diselenggarakan untuk kepentingan rakyat, dan sudah seharusnya rakyat sendiri yang menentukan siapa saja calon anggota legislatif yang lebih tepat buat mereka. Oleh karena itu, wacana pemilu dengan sistem nomor urut harus ditolak dan tentunya penolakan tersebut akan sangat sesuai dan konkret dalam mengisi kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam mewujudkan kemerdekaan rakyat dalam bidang politik.
Oleh: Robert FD/bsc