Rabu, 24 Agustus 2016|14:40:59 WIB
RADARRIAUNET.COM - Rakyat Indonesia sudah 71 tahun merdeka dari penjajahan fisik, tetapi budaya mereka masih mencerminkan bangsa yang terjajah. Jiwa sebagian rakyat Indonesia masih terbelakang seperti tidak siap menatap masa depan menjadi bangsa yang besar dan maju. Meski berulang kali pimpinan dan anggota DPR, pejabat kementerian terkait pendidikan, studi banding ke luar negeri, dan banyak guru dan dosen alumni luar negeri, kualitas pendidikan kita masih 'jauh panggang dari api'.
Budaya yang lestari pada rakyat Indonesia, khususnya orang-orang pendidikan bangsa ini, adalah budaya bangsa terbelakang dan terjajah. Kemerdekaan bangsa ini belum sempurna karena pemerintah dan masyarakat gagal membangun jiwa putra-putri Pertiwi dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas hingga Pulau Rote. Budaya rendah dan buruk menyelimuti pendidikan Nusantara mulai dari level mikro, messo, hingga makro.
Budaya rendah
Pertama, budaya menyontek. Siswa menyontek jawaban saat ujian nasional bahkan dipelopori oleh guru dan kepala sekolah. Guru menjiplak karya ilmiah untuk kenaikan pangkat karena kompetensi meneliti dan menulis mereka rendah. Dosen menjiplak deskripsi diri saat sertifikasi, sehingga banyak yang tidak lulus. Profesor menjiplak karya ilmiah untuk mempertahankan status keprofesorannya. Dosen menjiplak karya mahasiswa untuk artikel jurnal atau penelitian.
Kedua, budaya asal-asalan alias tidak mementingkan mutu. Sekolah dan Perguruan Tinggi (PT) berbenah diri hanya pada saat akan diakreditasi atau divisitasi. Sekolah dan PT tergabung dalam Organisasi Standar Internasional (ISO), tetapi mutunya tetap rendah, padahal biayanya cukup besar. Pemerintah mudah memberikan izin operasional program studi (prodi) pencetak bakal calon guru, padahal dosen dan fasilitas PT-nya tidak memadai. Pemerintah dan masyarakat tidak memerhatikan mutu dan gaji guru sehingga guru mengajar apa adanya.
Ketiga, budaya lamban dan mempersulit. Pencairan dana BOS lamban, padahal kebutuhan operasional sekolah tidak bisa ditunda. Pencairan dana sertifikasi guru lamban, padahal sertifikasi dosen bisa lancar setiap bulan. Pengurusan kenaikan pangkat dosen lamban karena tidak segera dinilai, bahkan berkasnya bisa hilang. Akreditasi prodi lamban karena Badan Akreditasi Nasional (BAN) PT kekurangan dana dan asesor. Penyelesaian studi S2 dan S3 sangat lamban karena mahasiswa tidak fokus menulis atau pejabat dan dosennya sibuk di luar kampus. Adagium 'Jika bisa dipersulit mengapa dipermudah' dibuat untuk menggambarkan pelayanan birokrasi.
Keempat, budaya gila jabatan dan gelar. Dosen memakai gelar doktor padahal belum selesai S3. Dosen menggungat rektor yang terpilih secara demokratis. Guru, dosen, dan anggota dewan membeli ijazah palsu. PT memberikan gelar doktor honoris causa kepada individu yang diragukan kelayakannya oleh masyarakat. Kuliah kelas jauh dan atau Sabtu-Minggu yang dosen dan prosesnya tidak sesuai standar tumbuh subur, padahal jelas dilarang pemerintah.
Kelima, budaya manipulasi. Pelaporan dana BOS tidak sesuai jumlah dana yang diterima sekolah karena 'bocor' di sana-sini. Penggelembungan harga dalam pembelian barang seperti alat-alat laboratorium dan perpustakaan, baik di sekolah, PT, maupun instansi pendidikan. Pengurangan hari pelatihan, seminar, dan workshop sehingga hasilnya tidak maksimal.
Kepemimpinan transformatif
Lima budaya itulah yang harus diperangi oleh orang-orang pendidikan dalam mengisi kemerdekaan Republik saat ini. Kunci keberhasilan perlawanan itu ada pada kepemimpinan visioner dan transformatif lembaga dan instansi pendidikan. Mereka itu bisa saja seorang menteri, direktur jenderal, direktur, kepala dinas, rektor, kepala biro, dekan, dan kepala sekolah. Singkatnya, seseorang yang memiliki kewenangan membuat kebijakan dan keputusan organisasi.
Seorang pemimpin harus mampu menggerakkan bawahannya untuk bekerja dan bersikap sesuai visi lembaga. "As we look ahead into the 21st century, leaders will be those who empowerothers," kata Bill Gates (1955), pendiri Microsoft.
Komitmen pemimpin pendidikan saat iniadalah mewujudkan pelayanan yang bermutu dan melahirkan pribadi yang percaya diri, jujur, dan cerdas. "Commitment is an act, not a word," tulis Jean-Paul Sartre (1905-1980). Pemimpin dinilai jika ia membawa pembaruan, bukan hanya ucapan. Selanjutnya, seorang pemimpin diakui karena kemampuannya berinovasi dalam bidang pelayanan maupun bidang keilmuan. Steve Jobs (1955-2011) pendiri Apple menulis, "Innovation distinguishes between a leader and a follower."
Kumpulan masalah di atas membudaya di setiap lapisan pendidikan karena minimnya pemimpin yang inovatif. Karena itu, ke depan pemerintah tidak cukup melakukan penilaian akreditasi prodi dan lembaga, tetapi penilaian kepemimpinan inovatif dan transformatif.
Agar jelas ukuran keberhasilan seorang pemimpin pendidikan. Lembaga pendidikan Indonesia masih berkutat dengan masalah administratif dan moral, sehingga capaian akademik, seperti penelitian, tertinggal jauh dari negara-negara lain. Sekolah dan PT terang-benderang memiliki visi kelas dunia atau universitas riset tetapi sedikit, untuk tidak mengatakan tidak ada, yang mampu mencapainya meskipun didukung dana yang cukup besar. Hasil penelitian masih bersifat lokal, padahal dananya setara global.
Di bulan Kemerdekaan ini kita menanti lahirnya para pemimpin pendidikan seperti yang digambarkan oleh Warren G Bennis (1925-2014), "Leadership is the capacity to transform vision into reality." Pemimpin yang mampu mengubah budaya rendah dan buruk orang-orang pendidikan menjadi budaya luhur dan baik, yang mengangkat harkat, martabat, dan daya saing bangsa. Wallahu a'lam bisshawab.
Oleh Jejen Musfah
Dosen Pascasarjana Manajemen Pendidikan UIN Jakarta/rol