Sabtu, 13 Agustus 2016|09:04:20 WIB
RADARRIAUNET.COM - Anak perusahaan PT. Sampoerna Agro Tbk., PT. National Sago Prima (NSP), akan mengajukan banding atas putusan gugatan perdata kasus pembakaran hutan seluas 3.000 hektare lahan konsesi di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.
Kuasa hukum PT. NSP, Rofik Sungkar, mengaku kecewa dengan keputusan majelis hakim yang memenangkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia menilai majelis tidak mempertimbangkan keterangan saksi dan bukti-bukti yang diajukan perusahaan di persidangan.
"Kami merasa tidak melakukan pembakaran hutan, sudah kami ajukan bukti berupa saksi ahli, bahkan sudah diajak mereka (hakim) ke TKP. Mereka tidak mempertimbangkan sama sekali," kata Rofik saat dihubungi awak media, Jumat (12/8).
Rofik justru mengklaim bahwa pihaknya juga mengalami kerugian yang cukup besar akibat kebakaran hutan di areal perusahaan milik kliennya. Dia juga menyatakan tuntutan yang diajukan oleh KLHK tidak berdasar, karena sejauh ini tidak ada bukti kerusakan di lahan bekas kebakaran hutan tersebut.
Dalam putusan pengadilan yang dibacakan oleh hakim Effendi Mochtar, PT. NSP dinyatakan telah secara tidak langsung dengan sengaja terlibat kegiatan pembakaran hutan di lahan seluas 3.000 hektare lahan konsesi. Total ganti rugi yang harus dibayarkan sebesar Rp319 miliar, serta membayar biaya pemulihan sebesar Rp753 miliar.
Putusan itu menyebutkan PT. NSP terbukti melakukan pelanggaran hukum karena tidak menjalankan aturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup, undang-undang kehutanan, peraturan sarana dan prasarana lingkungan hidup serta sederet peraturan lainnya.
Kekecewaan Rofik juga diperkuat dengan adanya dissenting opinion, atau perbedaan pendapat di antara majelis hakim.
"Salah satu hakim juga bilang di sana, kalau ini bukan pembakaran yang disengaja, tapi ini merupakan bencana alam, lalu siapa yang salah? Kami? ya tidak dong," kata Rofik.
Sementara itu, menurut kuasa hukum KLHK Patra M. Zen, motif PT. NSP dalam aksi pembakaran lahan bisa dibuktikan dengan jelas di persidangan. Salah satunya, menurut Patra, ketika PT. NSP melakukan upaya pencegahan api seolah hanya kedok saja.
Pada persidangan yang digelar beberapa waktu lalu, KLHK mengklaim pernah berbicara dengan seorang saksi PT. NSP. Saksi tersebut mengatakan bahwa perusahaannya memakai helikopter terkecil untuk pencegahan karena uangnya belum cukup dikeluarkan.
"PT. NSP telah melakukan pelanggaran hukuman. Mereka tidak mengikuti aturan," kata Patra.
Wakil Ketua Komnas HAM Dianto Bachriadi terpisah mengatakan putusan atas gugatan perdata itu dapat menjadi yurisprudensi bagi para hakim lainnya dalam memutuskan perkara yang relatif serupa.
Dianto menilai putusan itu lebih baik dibandingkan dengan sejumlah putusan tentang kebakaran hutan sebelumnya. Yurisprudensi adalah putusan yang dijadikan pedoman dalam kasus yang relatif sama.
Dia menyambut baik putusan tersebut, walaupun uang Rp1 triliun itu dinilai tak memadai untuk rehabilitasi lingkungan dan kompensasi para warga yang terkena polusi asap. Dianto menegaskan uang Rp1 triliun itu juga harus jelas kemana akan dialokasikan oleh pemerintah.
Data Riau Corruption Trial (RCT) menyatakan PT NSP adalah badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertanian, perindustrian, perdagangan dan pengangkutan darat. Perusahaan itu telah memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan-Bukan Kayu seluas 21.418 hektare di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.77/Menhut-II/2013 tanggal 4 Februari 2013.
cnn/radarriaunet.com