Kamis, 11 Agustus 2016|14:27:34 WIB
RADARRIAUNET.COM - Perbincangan mengenai produk dan industri halal sudah menggaung di seluruh pelosok dunia. Bukan hanya negara mayoritas Muslim yang peduli tentang halal, melainkan juga negara di mana Muslim menjadi minoritas karena di balik halal ini tersimpan potensi bisnis yang besar.
Halal sudah menjadi fenomena global. Industri halal yang berbasis sistem ekonomi Islam sudah bergerak dan merasuk di berbagai sektor yang selama ini hanya dimonopoli oleh sistem ekonomi kapitalis. Industri halal global (di luar keuangan Islam) diperkirakan bernilai 2,3 triliun dolar dan tumbuh 20 persen per tahun.
Dengan jumlah Muslim dunia 1,8 miliar manusia, pasar halal terus berkembang. Apalagi, beberapa negara yang tergabung dalam negara-negara OKI (Organisasi Konferensi Islam) dalam satu dekade belakangan terus mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Negara di kawasan teluk maupun di Asia, seperti Indonesia dan Malaysia, tumbuh jauh lebih tinggi dibanding negara maju. Di Eropa dan Amerika, penduduk Muslim juga terus tumbuh disertai dengan peningkatan kesejahteraan.
Industri halal merambah di semua sektor, bukan hanya keuangan dan makanan, melainkan juga sudah berekspansi ke sektor farmasi, kosmetik, produk-produk kesehatan, toiletris, media, packaging, dan sebagainya. Dan belakangan ini sektor baru yang langsung menjadi tren adalah gaya hidup halal yang meliputi traveling, jasa perhotelan, dan fashion.
ITC (International Trade Center) dalam laporannya berjudul "From Niche to Mainstream: Halal Goes Global" pasar produk halal ini disebutnya sebagai the new horizon of opportunity. Di situ ditulis bahwa pasar halal akan terus membesar seiring dengan populasi masyarakat Muslim yang semakin tinggi yang diperkirakan pada 2030 mencapai 2,2 miliar.
Dalam laporan tersebut, ITC juga mengingatkan agar pasar yang besar itu dimanfaatkan oleh sesama negara Muslim. Selama ini, banyak bahan pangan yang dikonsumsi negara OKI justru berasal dari negara non-Muslim, seperti Australia, Selandia Baru, Amerika, dan Eropa. Karena itu, sudah saatnya negara muslim tersebut saling mengisi, artinya kebutuhan bahan pangan dipernuhi dari sesama negara Islam. Bersamaan dengan itu, peran usaha kecil menengah harus ditingkatkan.
Dinar Standard, dalam publikasinya bertajuk "Islamic Growth Markets Invesment Outlook 2015", menulis tentang peluang bisnis di 57 negara anggota OKI dengan fokus pada makanan, ritel, turisme, kesehatan dan lain-lain. Selain itu, negara-negara mayoritas berpenduduk Islam itu sedang giat-giatnya membangun infrastruktur dan konstruksi sehingga membutuhkan dana besar dari luar.
Laporan tersebut juga membagi enam grup regional yang menjadi tempat terbaik untuk investasi, yaitu Asia Tengah dan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara, Asia Selatan, Negara Teluk, Afrika SubSahara, dan Asia Tenggara. Indonesia berada dalam kelompok Asia Tenggara bersama dengan Malaysia, dan termasuk dalam negara yang memiliki fundamental pertumbuhan yang baik.
Di tengah globalisasi halal tersebut, bagaimana posisi Indonesia? Dalam khazanah ekonomi Islam dan halal global, Indonesia belum banyak diperhitungkan, selain hanya sebagai pasar yang besar. Dalam berbagai makalah maupun diskusi dan seminar tentang ekonomi halal internasional, Indonesia jarang dijadikan contoh kasus. Masih sedikit pula pembicara berkelas internasional soal ekonomi halal dari Indonesia yang bicara di konferensi halal global.
Indonesia juga tidak memiliki gelaran halal yang berkelas internasional yang rutin dilakukan. Dalam Global Calender of Halal Event, tidak tercantum nama Indonesia. Gelaran rutin yang masuk kalender tersebut adalah MIHAS (Malaysia-Maret), Halal Expo Australia dan Philipine Halal Assembly (April), Halan Tourism Conference (Turki-Mei), Taiwan International Halal Expo dan Moskow Halal Expo (Juni), Halal Expo Exibision and Conference (Korea-Agustus), Global Economic Summit (Dubai-Oktober), Expo Halal Spain (Spanyol-November), dan Thailand Halal Assembly (Thailand-Desember).
Taiwan, Rusia, Korea, Spanyol, dan Thailand yang notabene negara yang mayoritas penduduk non-Muslim sudah bergerak jauh meninggalkan Indonesia. Karena itu, Sapta Nirwandar, mantan wakil menteri pariwisata yang aktif bergelut di ekonomi halal menggagas gelaran global bertajuk "Indonesia International Halal Lifestyle Expo & Conference 2016", Oktober mendatang. Harapannya, gelaran itu menjadi agenda rutin tahunan dan masuk dalam kalender gelaran halal global. Sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, sudah seharusnya Indonesia memiliki gelaran halal internasional.
Beruntung awal 2-4 Agustus lalu Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan World Islamic Economic Forum (WIEF) ke-12. Ini kali kedua Indonesia menjadi tuan rumah WIEF di mana yang pertama digelar 2009 silam. Meskipun bukan inisiatif dari pemerintah maupun pegiat ekonomi syariah, acara ini cukup mengangkat nama Indonesia di dunia globalisasi halal.
WEIF kali ini tema besarnya adalah "Desentralisasi Pertumbuhan, Memberdayakan Bisnis Masa Depan". Tema ini memiliki visi untuk lebih mengeksplorasi dan mengembangkan peran penting dari kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara di seluruh dunia. Ini sesuai dengan pandangan ITC tentang pengembangan ekonomi kecil dan menengah dalam mengembangkan kerja sama ekonomi negara-negara Islam.
Pada penyelenggaraan WIEF 2009, lahir Deklarasi Jakarta yang merekomendasikan tentang berbagai hal menyangkut energi, ketahanan pangan, dan pengembangan usaha kecil-menengah. Namun, tampaknya tidak ada langkah konkret lanjutan yang berdampak besar kepada negara-negara Islam dan perkembangan ekonomi Islam di Indonesia.
Kita berharap WEIF kali ini berdampak besar terhadap ekonomi halal dan juga pengembangan usaha kecil menengah di Indonesia. Beberapa hal yang menjadi rekomendasi WIEF 2016 adalah menciptakan lingkungan kondusif untuk pengembangan UMKM dan koperasi; menyediakan keterampilan modern bagi pemuda untuk meningkatkan nilai ekonomi; memanfaatkan pembiayaan syariah untuk menciptakan ekosistem halal; dan menambah potensi industri kreatif.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia sudah seharusnya berperan besar dalam globalisasi halal. Negeri ini jangan hanya menjadi objek, tetapi harus menjadi subjek. Negeri ini jangan hanya menjadi pasar bagi produk halal negara lain, tetapi jumlah penduduk yang besar dijadikan basis pasar untuk kemudian berekspansi ke negara lain. Indonesia harus berperan dalam gerakan besar pertumbuhan global ekonomi halal.
Oleh Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence/rol