RADARRIAUNET.COM - Agama Resmi Masyarakat Tionghoa di Kabupaten Ketapang menurut data dari Kantor Departemen Agama yang dianutnya sepertiga orang Tionghoa di Kabupaten Ketapang beragama Budha, Katolik, Protestan dan Konghucu. Agama secara tradisional, orang Tionghoa percaya bumi ini tidak hanya dihuni oleh manusia, tetapi juga oleh mahluk gaib lainnya yang dibuktikan oleh berbagai kejadian-kejadian yang nyata-nyata tidak dibuat oleh tangan manusia. Menurut kepercayaan agama, Cina adalah politisme (menyembah banyak dewa) bukannya monoteisme (menyembah satu Allah).
Dalam masyarakat etnis Tionghoa terdapat bermacam-macam dewa: diantaranya : dewa musim panen, dewa sungai, dewa kota, dewa dapur, dewa penyakit, dewa perang dan lain-lain. Jadi orang Cina tidak mengenal satu Tuhan – Tuhan yang Mahatinggi seperti halnya orang Yahudi, Kristen dan Islam. Hubungan mereka terhadap kekuatan spiritual, dewa-dewa dan nenek moyangnya sangat diritualkan. Mereka memberi sesajian terhadap roh, memberikan kurban dan kadang–kadang bahkan melakukan puasa dan semedi. Akan tetapi, tujuan utamanya adalah untuk mencapai keselarasan antara manusia dan “dunia lainnya”, terutama dengan menentramkan sang dewa dan roh.
Pemujaan Nenek Moyang merupakan praktek agama yang tertua dan tersebar luas. Kecuali bagi mereka yang memeluk agama Islam, Lamaisme dan Kristen, setiap rumah tangga Cina melakukan pemujaan nenek moyang tanpa memandang kelas sosial dan letak geografisnya.
Kebanyakan rumah Cina memiliki altar, atau mezbah, yang terdiri atas meja kecil yang dihiasi dengan nama, gelar, dan tanggal kelahiran serta kematian anggota keluarga yang meninggal. Biasanya pada tanggal I dan 15 setiap bulan menurut kalender komariah (yang didasarkan pada orbit bulan) serta tanggal festival lainnya (misalnya Tahun Baru kalender Komariah) diadakan berbagai upacara. Upacara ini terdiri atas pemberian makanan dan anggur, membakar kemenyan, dan kadang kala membakar batangan perak tiruan, Sesajian ini diperuntukkan bagi para arwah leluhur ini perlahan-lahan berkembang selama berabad-abad dan mewakili bentuk asli kepercayaan dan praktek keagamaan Cina.
Taoisme pada mulanya merupakan suatu filsafat yang diturunkan dari ajaran Lao Tse, yang hidup pada abad ke -6 sebelum Masehi dan Chuang Tzu yang hidup pada abad ke- 4 sebelum Masehi. Taoisme menekankan keselarasan antara manusia dan alam dan menjunjung prilaku pasif. Setelah berabad-abad, filasafat ini akhirnya menjadi satu agama, dan dibawah pengaruh Budhisme, memiliki dewa, kuil, dan pendeta sendiri.
Taoisme memisahkan alam manusia ke dalam aspek roh. Meskipun pembebasan roh (jiwa) merupakan tujuan puncaknya, penganut Taoisme juga terlibat dalam penyelidikan dunia fisik. Keterlibatan inilah yang mendorong para Taoisme ke dalam ilmu kimia semu untuk mencari zat pembebas yang akan membawa kepada hidup abadi.
Kongfucuisme bukanlah suatu agama, melainkan suatu filasafat moral dan sosial. Kongfucuisme didasarkan pada ajaran Kongfucu, yang hidup dari tahun 551-479 SM . Kongfucu menekankan pentingnya hubungan yang etis dan keagungan manusia. Dua ajaran utama Kongfucuisme adalah jen dan I jen dodefinisikan sebagai cinta kasih manusia, atau pokok hubungan manusia, sedangkan I adalah apa sepantasnya atau, dengan kata modern, kewajiban seseorang terhadap sesamanya.
Menurut pikiran Kongfucuisme, peningkatan kesejahteraan manusia harus dimulai dengan pembinaan seseorang melalui pendidikan. Peningkatan ini melangkah menjadi aturan hidup keluarga dan kehidupan bangsa bagi ketenangan dunia dan, pada puncaknya, bagi terciptanya kesejahteraan yang diidam-idamkan. Menurut Kongfucuisme, alam manusia akan terjelma dengan baik lewat cinta kasih orang tua dan anaknya. Oleh karena itu penekanan diletakkan pada ajaran hormat-menghormati antara orang tua dan anak, baik disekolah maupun di masyarakat. Apabila seseorang hormat terhadap prang tuanya, dia dapat diharapkan patuh terhadap penguasa, baik terhadap saudaranya dan dapat dipercaya oleh teman-temannya.
Budhisme masuk ke Cina dari India sekitar permulaan zaman Kristen. Budha lalu menjadi agama besar dan tersabar luas. Meskipun banyak pendeta Kongfucuisxme menyesalkan pangaruah agama Budha, mereka tidask dapat menghentikan penyebarannya. Mungkin alasan utamanya adalah karena sejak dinasti Han yang terakhir (pada abad ke-2) hingga abad ke-6, di Cina tidak terdapat kedamaian dan persatuan. Akhirnya, banyak orang mencari naungan dibawah Budhisme.
Penduduk yang mendiami wilayah Kabupaten Ketapang sebagian besar adalah suku Melayu yang beragama Islam dan mereka melaksanakan ibadah sudah tersedia masjid, surau yang memadai. Sedangkan bagi masyarakat etnis Tionghoa ada ditemukan beberapa rumah ibadah etnis keturunan Tionghoa yang khas, yaitu Vihara atau kelenteng dapat ditemui pada banyak tempat di Kota Ketapang. Pelestarian kepercayaan / religi leluhur etnis Tionghoa dilakukan dengan membangun pekong-pekong. Pekong-pekong / vihara tersebar dimana-mana, antara lain di pinggir jalan, sungai dan kaki bukit, penggir hutan, ditengah kampung ditengah kota dan pinggiran kota. Ukuran pekong itu sangat bervariasi, ada yang kecil, menengah dan besar.
Tulisan yang terdapat pada bagian-bagian badan pekong-pekong itu pada umumnya bertulisan huruf Tionghoa dan disana sini penuh dengan ornament, bermotif gambar naga dan singa dan pohon bambu. Pekong-pekong selalu berwarna merah terang dengan tulisan tulisan yang bewarna kuning keemasan. Ajaran yang menjadi permasalahan adalah Khong Hu Cu sebagai salah satu unsur kepercayaan etnis Tionghoa. Kepercayaan ini adalah “Kohesi Religius” dari tiga sumber, yaitu : Konfuisianisme, Budhisme dan Taoisme dan ketiga isme tersebut biasanya disebut dengan Sam Kaw atau Tri Dharrna.
Ada beberapa nama tempat ibadah etnis Tionghoa dan asal usulnya seperti Kelenteng dan Vihara. Klenteng atau Kelenteng adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Konghucu, maka klenteng dengan sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Konghucu.
Tidak ada catatan resmi bagaimana istilah "Klenteng" ini muncul, tetapi yang pasti istilah ini hanya terdapat di Indonesia karenanya dapat dipastikan kata ini muncul hanya dari Indonesia. Sampai saat ini, yang lebih dipercaya sebagai asal mula kata Kelenteng adalah bunyi teng-teng-teng dari lonceng di dalam kelenteng sebagai bagian ritual ibadah.Klenteng juga disebut sebagai bio yang merupakan dialek Hokkian dari karakter (miao). Ini adalah sebutan umum bagi klenteng di Tiongkok.Pada mulanya "Miao" adalah tempat penghormatan pada leluhur "Ci" (rumah abuh). Pada awalnya masing-masing marga membuat "Ci" untuk menghormati para leluhur mereka sebagai rumah abuh. Para dewa-dewi yang dihormati tentunya berasal dari suatu marga tertentu yang pada awalnya dihormati oleh marga / family / klan mereka. Dari perjalanan waktu maka timbullah penghormatan pada para Dewa / Dewi yang kemudian dibuatkan ruangan khusus untuk para Dewa/Dewi yang sekarang ini kita kenal sebagai Miao yang dapat dihormati oleh berbagai macam marga, suku. Saat ini masih di dalam "Miao" masih juga bisa ditemukan (bagian samping atau belakang) di khususkan untuk abuh leluhur yang masih tetap dihormati oleh para sanak keluarga / marga / klan masing-masing. Ada pula di dalam "Miao" disediakan tempat untuk mempelajari ajaran-ajaran / agama leluhur seperti ajaran-ajaran Konghucu, Lao Tze dan bahkan ada pula yang mempelajari ajaran Buddha.
Miao - atau Kelenteng (dalam bahasa Jawa) dapat membuktikan selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para Suci (Dewa/Dewi), dan tempat mempelajari berbagai ajaran - juga adalah tempat yang damai untuk semua golongan tidak memandang dari suku dan agama apa orang itu berasal. Saat ini Kelenteng bukan lagi milik dari marga, suku, agama, organisasi tertentu tapi adalah tempat umum yang dipakai bersama.
Klenteng, vihara dan Orde Baru
Banyak umat awam yang tidak mengerti perbedaan dari klenteng dan vihara. Klenteng dan vihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat dan fungsi. Klenteng pada dasarnya beraritektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat selain daripada fungsi spiritual. Vihara berarsitektur lokal dan biasanya mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, vihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada vihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok.
Perbedaan antara klenteng dan vihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa G30S pada tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa termasuklah itu kepercayaan tradisional Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru. Klenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian mengadopsi nama Sansekerta atau Pali, mengubah nama sebagai vihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan. Dari sinilah kemudian umat awam sulit membedakan klenteng dengan vihara.
Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak vihara yang kemudian mengganti nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai klenteng daripada vihara. Vihara (dibaca "wihara" - V diucapkan sebagai W) adalah rumah ibadah umat Buddha.
Biasanya satu minggu sebelum tanggal satu bulan satu Imlek, yang sudah berumah tangga, semua anggota keluarga membersihkan rumah secara keseluruhan. Semua Hu yang sudah berubah warna dilepas dan diganti dengan baru. Meja sembahyangan dibersihkan, patung-patung Dewa Dewi diturunkan, dicuci dengan sabun dan dibilas dengan air bunga agar bersih dan wangi kemudian. ditata kembali dengan rapi dan siap menyambut tahun baru.
Persiapan apa saja yang dibutuhkan:
Satu atau dua hari sebelum hari H tiba, yaitu tanggal satu bulan satu tahun baru Imlek. Buah-buahan dengan jumlah masing-masing lima buah, lima jenis (apel, jeruk, pear, anggur, jeruk besar, dan lain lain) dan rangkap dua, artinya untuk meja sembahyangan Thian Kung satu set dan untuk meja sembahyangan yang didalam rumah satu set. Hindari memilih jenis buah yang berduri (salak, nanas, dan lainnya). Meja sembahyangan Tian Gong (Thian Kung) disiapkan. Kemudian Hio besar sesuai kebutuhan, minimum dua batang. Hio kecil secukupnya tergantung anggota keluarga yang ingin sembahyang, masing-masing anggota 12 batang Hio pada tiap meja sembahyang. Lilin yang pantas 2 batang tiap meja (jangan terlalu tinggi dan besar) sebagai penerangan.
Bunga segar untuk meja bila mampu, sebagai pewangi.
Xiang Lu (Hio Lo / tempat Hio) untuk meja Tian Gong. Bila tidak ada yang permanen, dapat dibuat dari kaleng susu besar, dibungkus dengan kertas merah dan diisi beras.
Cangkir kecil (Jiu Jing), tempat teh sebanyak 5 buah untuk masing-masing meja sembahyang. Permen satu piring kecil sebagai pemanis untuk masing-masing meja sembahyang. Minyak wangi disemprotkan ke tangan anggota keluarga saat sebelum sembahyang.
Kain merah sebagai taplak meja Tian Gong. Untuk menjaga keamanan dan keindahan lebih baik diatas taplak meja tadi diberi alas kaca, sebelum buah, lilin, Xiang Lu (Hio Lo) dan lainnya disusun.
Penyusunan / Persiapan Sembahyang:
Letakkan meja Tian Gong menghadap Timur dengan langit-langit terbuka.Pasang taplak meja merah, letakkan kaca diatasnya. Susun Xiang Lu [Hio Lo], cangkir teh setengah lingkaran, lilin disamping kanan kiri, buah-buahan melingkar setengah lingkaran juga, bunga dibelakang kanan kiri meja. Permen di sebelah kanan depan meja.
Demikian pula dengan susunan yang sama untuk meja sembahyang yang ada di dalam rumah.
Saat Sembahyang:
Waktu sembahyang pada tanggal satu bulan satu tahun baru Imlek, jam 00:30 sampai 06:00 adalah yang paling baik. Pakailah pakaian yang rapi. Susunlah permohonan permintaan untuk satu Tahun Baru ini, agar tidak ada yang tertinggal. Kepala keluarga memimpin sembahyang dengan Xiang [Hio] besar satu di hadapan Tian Gong, kemudian diikuti dengan 12 Xiang [Hio] kecil. Sembah sujud seperti biasa sembahyang, permohonan-permohonan diutarakan. Setelah selesai diikuti dengan anggota keluarga yang lain, mulai dari pangkat yang tertinggi menurun.
Kepala keluarga melanjutkan sembahyang yang sama di meja sembahyangan dalam rumah dengan pola yang sama. Setelah semuanya selesai, tunggu sebentar, sekitar 30 menit. Bila situasi lingkungan tidak mengijinkan, maka meja sembahyangan Tian Gong boleh diberesin / diangkat semua persembahan yang ada, tinggalkan Xiang [Hio] nya saja. Bila situasi mengijinkan maka dapat dibiarkan sampai pagi, sampai lilin dan Xiang [Hio] terbakar habis.
Kemudian pagi harinya dilanjutkan dengan adat keluarga masing-masing, seperti berkunjung kerumah orang tua, orang yang dituakan, dan lain lain.
Leluhur orang Tionghoa sebelum mengenal agama dan filsafat telah terlebih dahulu mengenal penghormatan pada leluhur. Penghormatan leluhur ini kemudian menjadi titik tolak dan dasar daripada kepercayaan tradisional Tionghoa yang muncul lebih dulu daripada semua agama yang ada di Tiongkok. Kepercayaan tradisional pada mulanya hanya mempercayai bahwa ada 2 alam di alam semesta ini, alam langit dan alam manusia.
Alam langit merupakan tempat domisili para dewa-dewi yang dimuliakan, mempunyai kontribusi dan jasa yang besar bagi masyarakat pada zamannya. Setelah masuknya Buddhisme, alam baka ditambahkan ke dalam konsep ini, sehingga menjadi 3 alam.
Evolusi kepercayaan tradisional Tionghoa ini kemudian mempercayai bahwa manusia setelah meninggal akan menuju ke alam baka, namun bagi manusia yang dianggap mempunyai kontribusi dan jasa besar bagi masyarakat dapat pengecualian untuk berdomisili di alam langit. Alam langit, alam baka juga dipercaya mempunyai pemerintahan, kehidupan interaksi masyarakat yang mirip dengan alam manusia. Atas dasar kepercayaan inilah, uang emas dan uang perak diciptakan. Uang emas (kim cua) adalah diperuntukkan kepada dewa-dewi di alam langit. Uang perak (gin cua) diperuntukkan kepada roh manusia di alam baka. Uang perak juga diperuntukkan bagi roh manusia yang gentanyangan di alam manusia (hantu).Mengapa dibakar? Ini dikarenakan kepercayaan bahwa dewa api adalah penghubung antara ketiga alam tadi. Ini lazim di zaman dulu di banyak kebudayaan lainnya di dunia.Sejak kapan? Tradisi ini tercatat pertama kali dalam literatur sejarah adalah di zaman Dinasti Jin (265 - 420). Di saat itu telah ada pembakaran uang kertas untuk menghormati leluhur. Tradisi ini menjadi tradisi umum di Tiongkok di zaman Dinasti Tang dan Dinasti Song.
Makna dari tradisi bakar-bakaran tetap saja adalah semacam simbolisasi saja. Simbolisasi atas penghormatan leluhur dan dewa-dewi. Dewa-dewi di dalam kebudayaan Tionghoa adalah makhluk adikodrat yang dimanusiakan, dianggap hidup dan bertindak seperti manusia. Itu makanya tidak heran kalau ada dewa yang mempunyai keluarga misalnya Yu Huang Da Di. Itu semuanya hanya untuk mendekatkan dewa-dewi dengan manusia.
Sekarang, tradisi bakar-bakaran tetap saja ada dilaksanakan di sebagian kalangan Tionghoa. Namun pergeseran nilai juga mulai menggeser tradisi ini. Tanpa mengurangi rasa hormat bagi yang percaya, pemerintah Taiwan, HK atau Singapura mulai mendorong kebijakan mengurangi jumlah pembakaran uang kertas ini. Di Taiwan, selain memasyarakatkan semboyan "kurang jumlah, tidak kurang bakti", pemerintah juga bekerjasama dengan kelenteng-kelenteng untuk memusatkan pembakaran uang kertas di tempat pembakaran yang ditentukan pemerintah. Banyak kelenteng yang sudah meniadakan kompor-kompor tempat pembakaran uang kertas. Semua ini tujuannya untuk menjaga kebersihan lingkunga.
Bagi orang tua masih melaksanakan tradisi ini, demi menghormati mereka, disarankan agar jumlah uang kertas yang dibakar dibatasi dalam jumlah tertentu karena jumlah tidak mewakili besar ketulusan hati. Bagi yang beranggapan membakar uang kertas dalam jumlah besar dapat menyenangkan leluhur atau menunjukkan bakti, lebih baik tunjukkan rasa sayang anda itu semasa leluhur anda masih di dunia.
Cap Go Meh
Puncak atau akhir dari perayaan Sin Cia / Tahun Baru Imlek adalah Cap Go Meh yaitu tanggal 15 Cia Gwee merupakan malam pertama bulan purnama dalam Tahun Baru. Dalam Kehidupan kita sehari-hari dikenal hidangan khusus pada waktu Cap Go Meh yaitu yang dikenal dengan Lontong Cap Go Meh. Sembahyang pada waktu Cap Go Meh dilaksanakan pada tanggal 15 Cia Gwee antara Sien Si (07.00 - 9.00 ) sampai Cu Si ( 15.00-01.00) disebut sembahyang syukur saat Siang Gwan atau Gwan Siau. Pelaksanaan sembahyang cukup dengan Thiam hio atau upacara besar, penyelenggaraan sembahyang ini bersifat syukur, saat ini umat Konghucu memanjat do’a puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena pada saat Siang Gwa / Gwan Siau merupakan pada saat mulai diturunkannya berkah kehidupan, keselamatan dan kesejahteraan bagi segenap umat manusia.
Sembahyang syukur saat Siang Gwan tidak memerlukan altar khusus sebagaimana pada sembahyang, King Thi Kong atau sembahyang Dewa Dapur / Malaikat Dapur / Co Kun Kong, sehingga dapat dilaksanakan di altar / meja sembahyang orang tua yang telah meninggal dunia. Juga dapat dilaksanakan di altar Nabi di Lithang atau pun para suci (Sin Bing) terutama di altar Malaikat bumi ( Hok Tik Cing Sien )
Makna Hari Raya Cap Go Meh (Siang Gwan )Saat Siang Gwan merupakan hari pertama menyatakan sifat Maha Kasih, Maha Sempurna Tuhan Khalik semesta alam, sebagaimana tersurat dalam Kitab Babaran Rohani, Yak King yang berbunyi bahwa Thian mempunyai sifat Gwan yaitu Maha Sempurna, HingMaha Meliputi), Li (Maha Murah), dan Cing (Maha Kekal). Gwan artinya Yang Maha Sempurna.Khalik atau Pencipta yang menjadi di muka alam semesta.
Tahun Baru Imlek
Tahun Baru Imlek atau Sin Cia jatuh pada tanggal satu bulan Cia Gwee atau bulan pertama penanggalan / Tarikh Khongcu. Tarikh Kongcu merupakan sistem pananggalan dari Dinasti He (Tahun 2205 – 1766 SM ) yang diperhitungkan berdasarkan peredaran bulan dan matahari. Sistem penanggalan inilah yang sampai saat ini masih dipergunakan, yang dikenal sebagai penanggalan Imlek.
Sistem penanggalan tersebut dicanangkan untuk dipergunakan kembali oleh Nabi Khongcu yang hidup pada 551 – 479 SM, sehingga tahun pertama dari penanggalan Imlek tersebut dihitung mulai tahun kelahiran Nabi Khongcu,tepatnya tanggal 27 bulan delapan Imlek, tahun 551 SM sehingga tahun Imlek adalah tahun Masehi ditambah 551, oleh karena itu penanggalan Imlek ini sering disebut penanggalan / Tarikh Khongcu.
Makna Tahun Baru Imlek
Tahun Baru Imlek 1 Cia Gwee yang selalu jatuh pada bulan baru antara tanggal 21 Januari sampai tanggal 19 Pebruari Tarikh Masehi atau antara saat Tai Han (saat terdingin) sampai dengan Hari Hi Swi (musim semi).
Bagi masyarakat yang kurang mengerti, mereka mengatakan bahwa Si Cia Hari raya adat Tionghoa atau tradisi kebudayaan orang Tionghoa atau merayakan Pesta Musim Semi, atau sekadar bersenang-senang dan berkumpul dengan sanak keluarga, sehingga tidak mengherankan bila ada komentar yang mengatakan perayaan Sin Cia mengganggu harmoni kehidupan masyarakat Indonesia, atau tanggapan-tanggapan lain yang nadanya negative. Adanya larangan untuk merayakan Sin Cia yang dikeluarkan oleh otoritas yang tidak mengerti arti dan makna Hari Raya Sin Cia. Ada sementara kalangan yang menganggap sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Sepintas lalu kalau dilihat dari warga masyarakat yang merayakan Sin Cia, mungkin pernyataan demikian seolah-olah benar, namun bila kita jujur dan konsekuen, maka apa yang dikatakan tersebut adalah salah dan memberikan kesan tak mengerti.
Setiap memasuki Tahun Baru, masyarakat etnis Tionghoa akan merenung dan memeriksa perjalanan hidup selama satu tahun, tugas apa yang belum dikerjakan dengan baik dan tugas apa yang harus kita kerjakan dalam menghadapi tahun mendatang. Bagi umat Khonghucu menyambut Tahun Baru / Sin Cia merupakan suatu momentum untuk memperbarui diri dalam arti meningkatan pembinaan diri sebagai upaya mengamalkan kebajikan yangh diwujudkan dalam kata dan perbuatannya secara sungguh-sungguh, sepanjang hidupnya, umat Konghucu merasa wajib mematuhi perintah agar menjadikan sebagai manusia susilawan (Kuncu / insan kamil).
Simbol-Simbol Dalam Sistem Religi
Bupati Ketapang. H. Morkes Effendi baru baru ini telah meresmikan penggunaan Toapekong rumah ibadat umat Agama Khong fu tsu yang terletak Desa Rantau Panjang Kec. Simpang Hilir. Kelenteng tua yang berdiri sejak tahun 1920 ini oleh umat khong fu tsu di pugar dengan menghabiskan dana 500 juta rupiah. Penyelesaian rumah ibadat agama Khong Fu tsu ini berkat kerjasama berbagai pihak . Beberapa donator baik yang ada di Ketapang, Pontianak bahkan ada juga yang datang dari Tenggerang, Bekasi Jakarta dan lain lain, kata Apendi salah seorang pengurus Forum Umat Tionghoa ( Format) kabupaten Ketapang.
Memang masih belum seluruhnya selesai, oleh karena itu sumbangan dari para donatur ini masih sangat diharapkan. Digunakannmya kata Tionghoa bukan Cina dalam organisasi Format menurut Afandi , karena kalau Cina adalah nama suatu negara dan bangsa, Tetapi kalau menggunakan nama Tionghoa berarti mereka adalah warga negara Indonesia. Salah satu latar belakang berdirinya Format di kabupaten Ketapang untuk menjembatani silaturahmi antar sesama umut Tionghoa ,dengan umat lain maupun pemerintah daerah yang berfungsi sebagai pembina.
Sejumlah instansi dan tokoh masyarakat dari berbagai kalangan tumpah ruah di desa Rantau Panjang tersebut. Ketua Majelis Umat Khong Fu tsu Kalbar Apeng Tanjaya dalam kata sambutannya mengatakan bahwa umat agama khong Fu tsu mengucapkan terima kasih atas partisipasi pemerintah daerah dan masyarakat yang juga mempunyai andil dalam pembangunan Toapekong ini. Kehadiran tempat ibadat agama Kong Fu tsu ini diharapkan dapat membantu pemerintah untuk membangun masyarakat disegala bidang baik jasmani maupun rohani. Ajaran agama Khong Fu tsu selalu mengingatkan pentingnnya menebar kebajikan, karena dengan kebajikan manusia akan mencapai kesempurnaan, baikdidunia maupun diakhirat. Sementara itu Bupati Ketpang H. Morkes Effendi Spd mengatakan bahwa sekarang tidak ada lagi diskriminasi antar umat Tionghoa atau umat lainnya.Pemerintah akan selalu melindungi masyarakatnya, karena hal ini merupakan tugas dari pemerintah.
Sebagai warga negara masyarakat Tionghoa juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Kerukunan antar umat beragam yang ada diketapang ini supaya terus dipertahankan. Pada kesempatan tersebut juga telah dilantik segenap pengurus Format Kec. Simpang Hilir.
Dari kalangan budayawan dan nara sumber yang dapat dipercaya ada beberapa jenis smbol-simbol dalam masyarakat etnis Tionghoa dengan sangat sederhana tetapi tetap utuh maupun masyarakat pelaku bisnis yang melakukannya sejak zaman dahulu hingga saat ini seperti :
Kue Keranjang
Salah satu kue khas perayaan tahun baru imlek adalah kue keranjang. Menurut kepercayaan zaman dahulu, rakyat Tiongkok percaya bahwa bahwa anglo dalam dapur di setiap rumah didiami oleh Dewa Tungku, dewa yang dikirim oleh Yik Huang Shang Ti (Raja Surga) untuk mengawasi setiap rumah dalam menyediakan masakan setiap hari. Setiap tanggal 24 bulan 12 imlek (enam hari sebelum penggantian tahun), Dewa Tungku akan pulang ke surga untuk melaporkan tugasnya. Maka untuk menghindarkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi rakyat, timbullah gagasan untuk menyediakan hidangan yang menyenangkan Dwa Tungku. Seluruh warga kemudian menyediakan dodol manis yang disajikan dalam keranjang, disebut Kue Keranjang.
Kue Keranjang bebrbentuk bulat, mengandung makna agar keluargayang merayakan imlek tersebut dapat terus bersatu, rukun dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang. Kue Keranjang disajikan di depan altar atau dekat tempat sembahyang di rumah.
Kue Bulan
Kue bulan (Hanzi: , pinyin: yuèb?ng) adalah penganan tradisional Tionghoa yang menjadi sajian wajib pada perayaan Festival Musim Gugur setiap tahunnya. Di Indonesia, kue bulan biasanya dikenal dalam dialek Hokkian-nya, gwee pia atau tiong chiu pia.
Kue bulan tradisional pada dasarnya berbentuk bulat, melambangkan kebulatan dan keutuhan. Namun seiring perkembangan zaman, bentuk-bentuk lainnya muncul menambah variasi dalam komersialisasi kue bulan.
1 Kue bulan bermula dari penganan sesajian pada persembahan dan penghormatan pada leluhur di musim gugur, yang biasanya merupakan masa panen yang dianggap penting dalam kebudayaan Tionghoa yang berbasis agrikultural.
Perkembangan zaman menjadikan kue bulan berevolusi dari sesajian khusus pertengahan musim gugur kepada penganan dan hadiah namun tetap terkait pada perayaan festival musim gugur tadi.
Beberapa legenda mengemukakan bahwa kue bulan berasal dari Dinasti Ming, yang dikaitkan dengan pemberontakan heroik Zhu Yuanzhang memimpin para petani Han melawan pemerintah Mongol. Namun sebenarnya, kue bulan telah ada tercatat dalam sejarah paling awal pada zaman Dinasti Song. Dari sini, kue bulan dipastikan telah populer dan eksis jauh sebelum Dinasti Ming berdiri.
Pembuatan kue bulan di Indonesia pada dasarnya berasal dari gaya pembuatan Guangdong dan Chaozhou. Juga ada lokalisasi dengan cara pencampuran bahan-bahan yang mudah didapatkan di Indonesia, semisal daun pandan sebagai perasa. Dan masih banyak kategori-kategori lainnya hasil inovasi gaya pembuatan kue bulan gaya baru di pasaran.
Bakcang
Bakcang atau bacang (Hanzi: , hanyu pinyin: rouzong) adalah penganan tradisional masyarakat Tionghoa. Kata 'bakcang' sendiri adalah berasal dari dialek Hokkian yang lazim dibahasakan di antara suku Tionghoa di Indonesia.
Bakcang menurut legenda pertama kali muncul pada zaman Dinasti Zhou berkaitan dengan simpati rakyat kepada Qu Yuan yang bunuh diri dengan melompat ke Sungai Miluo. Pada saat itu, bakcang dilemparkan rakyat sekitar ke dalam sungai untuk mengalihkan perhatian makhluk-makhluk di dalamnya supaya tidak memakan jenazah Qu Yuan. Untuk kemudian, bakcang menjadi salah satu simbol perayaan Peh Cun atau Duanwu.
Bakcang secara harfiah berarti cang yang berisi daging, namun pada prakteknya, cang juga ada yang berisikan sayur-sayuran atau yang tidak berisi. Yang berisi sayur-sayuran disebut chaicang dan yang tidak berisi biasanya dimakan bersama dengan serikaya atau gula disebut kicang.
Bakcang dibuat dari beras ketan sebagai lapisan luar; daging, jamur, udang kecil, seledri dan jahe sebagai isi. Ada juga yang menambahkan kuning telur asin. Untuk perasa biasanya ditambahkan sedikit garam, gula, merica, penyedap makanan, kecap dan sedikit minyak nabati.
Tentunya yang tidak kalah penting adalah daun pembungkus dan tali pengikat. Daun biasanya dipilih daun bambu panjang yang harus dimasak terlebih dahulu untuk detoksifikasi. Bakcang biasanya diikat berbentuk prisma segitiga.
infot/fn/radarriaunet.com