Jaksa Agung Didesak Beberkan Alasan Tunda Eksekusi Mati
ilustrasi. cnn

Jaksa Agung Didesak Beberkan Alasan Tunda Eksekusi Mati

Senin, 01 Agustus 2016|09:57:56 WIB




RADARRIAUNET.COM - Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Eksekusi Mati yang terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendesak pemerintah khususnya Kejaksaan Agung untuk mempublikasikan alasan penundaan pelaksanaan eksekusi mati terhadap sepuluh terpidana mati pada Jumat lalu.

Menurut Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Erasmus Napitulu, penundaan eksekusi mati terhadap sepuluh terpidana mati ini menjadi bukti bahwa pemerintah sendiri mengakui adanya kejanggalan-kejanggalan ataupun ketidaksiapan dari pelaksanaan eksekusi mati yang dirasa bukan jalan hukum yang tepat.

"Ada kejanggalan dalam eksekusi mati kemarin. Kami minta Jaksa Agung untuk buka alasan yuridis penundaan eksekusi terhadap 10 terpidana mati. Bagi kami penundaan eksekusi seharusnya diberikan juga pada 4 terpidana sebelumnya," kata Erasmus dalam konferensi pers di kantor YLBHI, Jakarta, Minggu (31/7).

Erasmus menyatakan, penundaan eksekusi ini seharusnya dilakukan terhadap seluruh terpidana mati karena seluruhnya masih dalam proses pengajuan permohonan grasi. Dimana, tutur Erasmus, Undang-Undang No 5/Tahun 2010 perubahan atas Undang-Undang No 22/Tahun 2002 tentang grasi menyatakan pelarangan pelaksanaan proses eksekusi mati terhadap terpidana mati yang sedang mengajukan permohonan grasi dan belum mendapatkan jawaban atas permohonannya.

Selain itu, Erasmus menjelaskan, notifikasi pelaksanaan eksekusi mati juga diberikan kepada seluruh terpidana mati pada saat yang bersamaan. Karena itu, menurutnya, publik berhak mengetahui apa yang menjadi alasan yuridis Jaksa Agung menunda pelaksanaan ekseksusi 10 terpidana lainnya pada Jumat lalu.

"Alasan yuridis itu publik berhak tau karena itu menyangkut hukum jadi perlu dibuka atas dasar prinsip fair trial dan keadilan," kata Erasmus.

Tapi nyatanya, Erasmus menyatakan, pemerintah tetap melakukan eksekusi mati terhadap empat terpidana yakni Freddy Budiman (37 tahun), Michael Titus (34), Humprey Ejike (40), dan Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane (34) yang sedang dalam proses mengajukan permohonan grasi. Ia menekankan bahwa pernyataan Jaksa Agung terkait adanya tenggat waktu dalam mengajukan grasi berdasarkan Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Grasi tidaklah mendasar.

"Sebab berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No 107/Tahun 2015, Pasal 7 ayat 2 tersebut sudah dihapuskan dan tidak berlaku," kata Erasmus.

Bukan Hukuman Tepat

Menurut Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat M. Adif Abdul Qoyim, penerapan eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba bukan jalan yang efektif untuk memerangi kejahatan narkoba maupun kejahatan lainnya di Indonesia.

Berdasarkan data yang diperoleh LBH dari Badan Narkotika Nasional (BNN), korban pengguna narkoba terus bertambah dari tahun 2004  sebanyak 3,3 juta jiwa menjadi 5,5 juta jiwa pada tahun 2015. Sedangkan dalam jangka waktu tahun 2004 hingga 2014 setidaknya sudah ada 21 terpidana kasus narkoba di eksekusi mati oleh pemerintah.

Afif menyatakan, seharusnya pemerintah bisa belajar dan menjadikan hal tersebut sebagai valuasi terhadap pengimplementasian hukuman mati di Indonesia.

"Angka ini kan membuktikan sebenarnya eksekusi mati tidak berpengaruh terhadap kejahatan narkotika. Narkotika tidak melulu seputar eksekusi mati. Eksekusi mati tidak memusnahkan pengedaran narkoba, hanya memutus rantainya saja," kata Afif.

Analis Kebijakan Mingrant CARE Wahyu Susilo menyatakan pemerintah seharusnya bisa memanfaatkan para terpidana kasus narkoba sebagai bagian dari justice collaborator untuk menguak mata rantai sindikat perdagangan narkoba dan perdagangan manusia.

Wahyu menyatakan, sebenarnya para terpidana kasus narkoba yang divonis mati ini belum tentu memiliki peranan beasar dalam sindikat peredaran narkoba. Ia bahkan menyatkan tak jarang para terpidana narkoba tersebur hanya bagian kecil dari praktik perdagangan narkoba.

Wahyu menyatakan, sindikat perdagangan narkoba sering berhubungan juga dengan sindikat perdagangan manusia. Menurutnya, para sindikat ini memanfaatkan orang yang paling lemah dalam mobilitas antar negara, yaitu buruh migran.

Karena itu, menurutnya pemerintah Indonesia seharusnya bisa benar-benar membuktikan sejauh apa keterlibatan para terpidana tersebut dalam peredaran narkoba sebelum menjatuhkan vonis hukuman mati.

Menurut Wahyu, jika Pemerintah ingin benar-benar memerangi kejahatan narkoba, seharusnya Pemerintah bisa lebih cerdas dalam menjerat para pihak yang terlibat sindikat narkoba hingga ke inti rantainya.

"Terpidana mati ini sebenernya bisa dijadikan link untuk mencari dalang besarnya. Kalau setiap terpidana narkoba di hukum mati, justru pemerintah menjadi kesulitan untuk benar-benar memusnahkan sindikatnya," kata Wahyu.


cnn/radarriaunet.com







Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NASIONAL

MORE

MOST POPULAR ARTICLE