Senin, 01 Agustus 2016|09:31:08 WIB
RADARRIAUNET.COM - Anggota Komisi XI DPR RI Eva Kusuma Sundari mendesak pihak kepolisian segera mencari dan memeriksa orang yang menyebarkan kebencian sekaligus memicu aksi kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Menurutnya, penyebar kebencian itu bisa ditelusuri melalui media sosial.
Provokasi yang kemudian memantik massa melakukan aksi pembakaran rumah ibadah dan kekerasan itu disebar melalui media sosial. Eva mengatakan, cukup banyak bukti yang bisa dipakai polisi dalam menjerat provokator dengan pasal pidana.
“Polda Sumatera Utara bisa menelusuri Facebook dan YouTube guna mencari orang-orang yang menyebarkan kebencian serta mengajurkan kekerasan di Tanjung Balai. Polisi bisa mempelajari timeline serta foto dan video," kata Eva Sundari dalam rilis yang diterima awak media, Minggu (31/7).
Menurut Eva, kerusuhan tersebut dimulai ketika seorang perempuan Tionghoa protes atas pengeras suara masjid Al Maksum. Protes itu berlanjut menjadi keributan antar tetangga.
Perempuan itu bersama dengan pengurus masjid dan beberapa pihak lain, termasuk individu dari Majelis Ulama Indonesia dan Front Pembela Islam, menyelesaikan persoalan mereka di kantor kelurahan. Masalah itu tak kelar, lalu dibawa ke kantor polisi sektor setempat.
Eva mengatakan, pihak kecamatan dan kepolisian Tanjung Balai menduga ada orang yang menggunakan media sosial untuk menyiarkan kebencian terhadap 'kafir bangsat' dan 'musuh Islam'.
Keberatan terhadap protes perempuan Tionghoa tersebut beralih menjadi kebencian serta pembakaran dan perusakan terhadap wihara dan keleteng di Tanjung Balai.
Protes soal speaker masjid, menurut Eva, merupakan hal yang wajar dan bukan merupakan kejahatan. Politisi PDI Perjuangan ini mengatakan, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla juga sering memprotes atas pengeras suara masjid.
"Apakah kita hendak anggap Pak JK melakukan kejahatan? Saya kira tidak. Protes ini wajar. Bukan kejahatan,” kata Eva.
“Sebaliknya, siapa pun pelaku kekerasan, yang mengatasnamakan agama apapun, harus ditangkap dan dihukum," tegasnya.
Eva menuturkan, pada 2015, Jusuf Kalla, selaku ketua Dewan Masjid Indonesia, berulangkali meminta pengeras suara masjid diatur agar tak ada polusi suara. Dewan Masjid kemudian melatih 700 orang teknisi dengan 100 unit mobil teknis untuk membantu perbaikan speaker masjid.
Wakil Koordinator Kaukus Pancasila ini menjelaskan, pada 1978, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam dari Kementerian Agama telah mengeluarkan instruksi soal pengeras suara masjid terkait batas volume maupun waktu, serta orang yang berada di balik mikrofon—agar tak mengganggu lingkungan.
Eva pun mengusulkan agar dana Bimas di Kementerian Agama digunakan untuk program deradikalisasi, termasuk sosialisasi ajaran Islam yang menghargai toleransi dan taat konstitusi. Insiden ini, kata Eva, menguatkan kebutuhan akan peran negara untuk melakukan sosialisasi Pancasila dan pilar berbangsa dan bernegara.
Eva menilai, peristiwa tersebut merupakan buah dari argumentasi minoritas harus menghormati mayoritas. Perempuan Tionghoa di Tanjung Balai tersebut dianggap tak menghormati mayoritas Muslim.
Pendapat itu, menurut Eva, tidak sesuai dengan amanat UUD 1945, bahwa setiap warga negara Indonesia, tanpa peduli agama, etnis, seksualitas atau apapun, punya hak dan kewajiban sama.
Sebelumnya, terjadi kerusuhan berbau SARA di Kota Tanjung Balai yang diduga karena adanya keberatan dari seorang etnis Tionghoa atas volume azan yang dikumandangkan di salah satu masjid.
Tanpa diduga, informasi itu cepat menyebar dan berujung pada kerusuhan yang berbau SARA. Perisitiwa itu menyebabkan sebelas rumah ibadah milik umat Buddha dirusak massa.
cnn/radarriaunet.com