RADARRIAUNET.COM - Polda Riau pada Rabu mengumumkan penghentian penyidikan 15 perusahaan yang arealnya terbakar pada September 2015. Demikian kabar dari berbagai media pada minggu lalu. Disebutkan bahwa alasan penghentian adalah karena lahan yang terbakar berada di lahan sengketa perambah hutan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mengambil alih penyelesaian 15 kasus kebakaran tersebut, diawali dengan mengkaji sejumlah fakta dibalik terbitnya SP3.
Apapun alasan di balik penerbitan SP3 untuk 15 perusahaan yang lahannya terbakar tentu tidak akan menghapuskan kenyataan bahwa hutan, dan lahan gambut di areal tersebut telah terbakar, dan negera kehilangan sebagian sumberdaya hutannya.
Segitiga Api
Pasal 1 butir 38 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) adalah terbakarnya hutan dan/ atau lahan baik secara alami atau disengaja sehingga menimbulkan kerugian ekologis, ekonomi, sosial budaya, dan politik.
Merujuk pada teori segitiga api, bahwa terjadinya kebakaran disebabkan oleh adanya unsur panas, oksigen (udara), dan bahan yang mudah terbakar. Dalam kasus karhutla tentu hutan dan lahan gambut yang mengering bisa menjadi bahan bakar yang baik. Sementara cuaca (panas matahari, dan angin) berada di sisi lain dalam segitiga api sebagai unsur yang berpengaruh dalam terjadinya karhutla.
Muhammad Noor (2010) dalam bukunya tentang Lahan Gambut menyebutkan bahwa secara epistemologi, gambut adalah material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan atau jenuh air, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sebagian yang mengalami perombakan (decomposed). Gambut dalam pengertian teknis dan praktis, dapat diartikan sebagai hutan rawa, hutan alam, lahan pertanian, lahan penggembalaan, bahan media tumbuh, bahan kompos, bahan bakar, dan bahan industri.
Gambut yang terbuka akibat akibat kegiatan penyiapan lahan (land clearing) menjadi terpanggang, dan cepat kering sehingga menjadi ‘bahan bakar’ yang baik, karena api bisa dengan mudah menjalar menghilangkan vegetasi yang tumbuh di atasnya, bahkan memusnahkan lapisan gambut hingga kedalaman tertentu. Kebakaran di lahan gambut merupakan cerminan dari sistem penglolaan hutan/ lahan yang mengabaikan sifat-sifat lahan dan lingkungan gambut yaitu mudah kering, dan terbakar.
Izin di areal gambut
Masalah mulai timbul ketika pemerintah menerbitkan izin pemanfaatan hutan tanaman, dan izin kebun di areal gambut. Akasia, dan sawit yang menjadi tanaman pokok perusahaan pemegang izin tidak dapat hidup di areal gambut yang tergenang. Sebagai solusinya mereka membangun kanal-kanal untuk mengeringkan gambut agar akasia dan sawit bisa tumbuh, dan tentu saja menghasilkan keuntungan ekonomi.
Telaah peta menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Riau merupakan daerah rawa dan gambut. Pada Peta Lampiran SK Menteri Kehutanan Nomor SK.18/Menhut-II/2007 tampak bahwa sebagian besar areal IUPHHK-HT PT Ruas Utama Jaya, salah satu perusahaan yang arealnya terbakar, disebutkan sebagai rawa. Areal IUPHHK-HT PT Suntara Gajapati yang arealnya juga terbakar, berada di sebelah Utara PT RUJ, dan berdasarkan telaah peta juga sebagian arealnya disebut berupa gambut.
Dalam SK Pemberian Izin HTI an. PT RUJ disebutkan bahwa gambut dengan ketebalan lebih dari 3 (tiga) meter harus dikeluarkan dari area kerja efektif untuk dikelola sebagai kawasan lindung. Termasuk di dalam SK tersebut juga larangan bagi pemegang izin untuk membuka lahan dengan cara dibakar, dan kewajiban mengamankan areal izin dari perambahan.
Pada kenyataannya karhutla tetap terjadi di areal izin yang berada di kawasan gambut tersebut. Masyarakat yang merambah, cuaca serta musim kemarau berkepanjangan lalu dituduh menjadi penyebabnya.
Pengelolaan air di lahan gambut
Seringnya terjadi karhutla dalam sepuluh tahun terakhir menjadi pertimbangan perlunya dilakukan upaya pengendalian kebakaran lahan gambut. Permen LH Nomor 10 Tahun 2010 menyebutkan bahwa pencegahan kerusakan lingkungan hidup adalah upaya untuk mempertahankan fungsi hutan dan/ atau lahan melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/ atau lahan.
Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB), dan pengelolaan air di lahan gambut menjadi cara-cara yang harus dilakukan sebagaimana pada Pasal 2. Pengelolaan air di lahan gambut dilakukan dengan pembangunan dan/ atau pemeliharaan sistem kanal tertutup dengan pintu air untuk menjaga tinggi muka air.
Cuaca, iklim dan musim
Dalam setiap pemberitaan tentang karhutla di media pasti dimuatkan juga informasi tentang prakiraan cuaca, iklim, dan musim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Pada saat karhutla belum terjadi tentu informasi tersebut diharapkan menjadi peringatan bagi semua pihak untuk mengambil tindakan pencegahan yang tepat.
Peringatan dini pencegahan karhutla sebagaimana Pasal 7 Permen LH Nomor 10 Tahun 2010 dilakukan dengan cara menyediakan data dan informasi cuaca dan iklim; prakiraan iklim lokal, regional, dan global; prakiraan musim; dan atau pola penyebaran dan arah pencemaran asap.
Mengantisipasi terjadinya kebakaran gambut yang terjadi pada kawasan gambut pada musim kemarau tahun 2016, Badan Restorasi Gambut (BRG) mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE.01/BRG-KB/6/2016, pada 1 Juni 2016. BRG memerintahkan seluruh pengusaha hutan dan perkebunan untuk menutup kanal atau membuat bangunan sekat kanal agar tinggi muka air dapat dipertahankan pada batas aman yang dipersyaratkan sehingga pada musim kemarau gambut tetap basah. BRG juga melarang penggunaan api dan dalam pembersihan lahan dan persiapan tanam.
Upaya pencegahan telah dilakukan, namun karhutla masih saja terjadi. Berdasarkan info media, sepanjang Juni hingga Juli terpantau beberapa titik api di Sumatera, meskipun di wilayah Riau disebutkan tidak terpantau.
Semoga upaya menghentikan karhutla dengan menjadikan gambut kembali menjadi gambut yang berair, dan tidak mudah terbakar tidak berhenti pada tingkat kebijakan saja. Apalagi jika hanya sebatas pemberitaan media. Seolah-olah saja karhutla telah tertangani. Perlu pengawasan dari semua pihak, dan ketegasan dari pihak berwenang. Sehingga tidak perlu lagi kita menyalahkan cuaca, dan musim sebagai satu-satunya penyebab kebakaran yang menghilangkan sumberdaya hutan.
Oleh: T. Nala Puruhita