Rabu, 19 Agustus 2015|09:44:34 WIB
JAKARTA (RRN) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, kejaksaan dan lembaga peradilan membutuhkan pedoman khusus dalam melaksanakan fungsinya masing-masing. Peneliti ICW Emerson Yuntho mengatakan, Kejaksaan membutuhkan pedoman penuntutan, sementara lembaga peradilan butuh pedoman pemidanaan. Pada tahap penuntutan, menurut dia, kejaksaan tidak punya panduan penuntutan atas penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri mau pun penyidik kejaksaan. Jaksa penuntut umum menetapkan tuntutan tertentu berdasarkan penilaian yang subyektif.
"Tidak ada panduannya. Jadi tergantung pada kejaksaannya masing-masing, apakah Kejati (Kejaksaan Tinggi), Kejari (Kejaksaan Negeri) atau Kejagung (Kejaksaan Agung). Masing-masing itu bisa beda penilaian," ujar Emerson, dalam konferensi pers di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Selasa (18/8/2015).
Demikian pula di persidangan. Peneliti ICW Aradila Caesar mengatakan, hakim tidak memiliki pedoman yang sama dengan hakim lain ketika menjatuhkan vonis untuk kasus yangsama. Hakim menggunakan pertimbangan yang subyektif dalam mengambil putusan. "Misalnya, hakim memvonis berat, apa alasan dia? Atau hakim memvonis ringan, apa juga alasannya? Semua subyektif, tergantung dari diskresi hakim. Harusnya kan ada pedoman yang mengatur itu," ujar Aradila.
Tidak ada pedoman yang baku dalam fungsi penuntutan dan peradilan, menurut ICW, menjadi penyebab tak bergiginya penegakan hukum, terutama untuk kasus-kasus korupsi. Pemantauan ICW selama semester I tahun 2015, ada 193 perkara korupsi dengan 230 terdakwa yang telah diadili baik di tingkat pertama (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi), banding (Pengadilan Tinggi) atau pun kasasi serta peninjauan kembali (Mahkamah Agung). Dari jumlah itu, 163 terdakwa (70,9 persen) dihukum satu sampai empat tahun.
Sementara, hanya 24 terdakwa divonis dengan rentang waktu sedang dan hanya 3 terdakwa yang divonis maksimal hakim pengadilan. Ada pun 38 terdakwa divonis bebas dan vonis 2 terdakwa lain tidak teridentifikasi. Artinya, rata-rata putusan pidana penjara bagi koruptor yang terjadi selama awal periode pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla hanya dua tahun satu bulan penjara. Dari jumlah 230 terdakwa itu, hanya 134 putusan menggunakan Pasal 3 UU Tipikor. Sementara, hanya 59 putusan menggunakan Pasal 2 UU Tipikor. "Jika dilihat dari segi ancaman hukumannya, hukuman maksimal Pasal 3 lebih berat, yaitu seumur hidup dan ancaman hukuman minimal hanya satu tahun. Sementara, Pasal 2 ancaman pidana minimal hanya 4 tahun penjara," Aradila.
Penggunaan Pasal 3 UU Tipikor, lanjut Aradila, membuka ruang diskresi yang besar terhadap hakim untuk memutus hukuman paling ringan bagi terdakwa kasus korupsi. (teu/kcm)