RADARRIAUNET.COM - Kekerasan, Polisi, dan Pelanggaran HAM Kekerasan terjadi di mana-mana, seperti bola salju yang terus bergulir, merebak, dan merasuk ke dalam kehidupan terutama pada masyarakat kecil. Sejumlah kekerasan terjadi dalam waktu yang hampir beruntun. Satu kekerasan belum tertangani secara tuntas muncul lagi aksi-aksi kekerasan lain.
Secara umum kekerasan memiliki dimensi yang cukup luas, baik dari segi filosofi maupun tindakan. Sementara ada pandangan bahwa budaya Indonesia sarat dengan kekerasan, meskipun hal itu belum tentu benar. Beberapa pakar menganalisis fenomena kekerasan yang terjadi di masyarakat.
Darmanto Jatman (2000) mengatakan, “Aksi anarki dan teror terjadi karena negara sudah kehilangan kontrol terhadap masyarakat, sehingga seringkali muncul pembunuhan massal maupun aksi main hakim sendiri. Yang terjadi berkaitan dengan lemahnya supremasi hukum, hancurnya kewibawaan eksekutif, sehingga celah itu dimanfaatkan oleh masyarakat yang tidak menaruh percaya lagi pada hukum.”
Satjipto Rahardjo (2005) mengingatkan, “Maraknya tindak kekerasan tidak bisa dianggap kesalahan masyarakat. Bahkan tindakan masyarakat menunjukkan masih ada kepedulian untuk ikut serta menghadapi kejahatan secara total.”
Di sisi lain, Ronny Nitibaskara (2009) mengatakan, “Patut dipercaya bahwa meningkatnya kasus kekerasan kolektif primitif belakangan ini sedikit banyak dipicu oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum.”
Dari beberapa pendapat itu, kebanyakan melihat kekerasan sangat terkait dengan pembangunan hukum di Indonesia. Dalam korelasinya dengan pembangunan ekonomi, ada asumsi yang menyatakan, “Pendidikan masyarakat yang belum setara dan kurangnya lapangan kerja akan menimbulkan kegiatan yang menyimpang.” (Robert K. Merton, 1964).
Maksudnya, dalam masa perekonomian yang belum stabil, warga yang tidak mendapat peluang yang halal untuk memperoleh tujuan materialistik akan mencari jalan pintas dengan memilih melakukan pelanggaran hukum untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Kondisi lain yang mendorong tindak kekerasan adalah migrasi sebagian pemuda dari kota kecil ke kota besar yang hendak mengadu nasib.
Dalam kondisi ketidaksiapan kota menampung pendatang baru dan primary social control yang menurun, membuat para pendatang merasa cemburu melihat pemuda kota menikmati kehidupan lebih baik. Sedangkan mereka menganggur dan tinggal di daerah kumuh.
Ketidakberdayaan menghadapi tekanan hidup di kota besar membuat sebagian dari mereka memilih pulang kampung, sebagian lainnya mengambil jalan pintas menjadi preman untuk mempertahankan hidup. Dari sini mulai terjadi perubahan perilaku menjadi orang yang tidak takut sanksi, baik sanksi sosial maupun hukum.
Polisi dan Pelanggaran HAM
Sejak pemisahan Polri dari TNI (ABRI) banyak pertanyaan, mengapa polisi masih menggunakan kekerasan dalam menghadapi gejolak di masyarakat? Dalam UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri dinyatakan, tugas polisi adalah penegak hukum, pembina ketertiban dan keamanan masyarakat, serta pelayan masyarakat.
Kemampuan dalam penegakan hukum merupakan faktor penting bagi polisi mewujudkan semaksimal mungkin perlindungan bagi setiap warga masyarakat. Sebagai salah satu komponen sistem peradilan, polisi memiliki kedudukan kunci bagi efektif atau tidak jaminan perlindungan HAM.
Konvenan Hak Sipil dan Politik, Code of Conduct for Law Enforcement Officials, meletakkan tugas berat perlindungan terhadap masyarakat kepada petugas penegak hukum, terutama polisi. Namun dalam kenyataan, masih ada penyimpangan perilaku polisi yang bertentangan dengan keharusan itu.
Kecenderungan yang terjadi adalah kekerasan oleh polisi tidak hanya kekerasan personal, namun juga kekerasan yang bersifat struktural, menggunakan cara tidak langsung untuk mengungkap atau mengatasi masalah.
Dalam hal ini, warga masyarakat ditempatkan pada posisi yang patut disalahkan, informasi masalah dikemas secara sepihak oleh aparat kepolisian, dan disinyalir untuk membebaskan aparat yang bertanggung jawab atas sebuah kerusuhan. Lantas dengan cara-cara tertentu dikemas justifikasi bahwa ada pihak-pihak yang memprovokasi.
Argumentasi semacam itu pada dasarnya common sense yang merupakan produk dari keputusasaan intelektual. Dengan terlampau cepat menempatkan masalah kompleks dan unik, semata-mata sebagai suatu kegagalan atau ketidakmampuan polisi. Argumen formalis ini mengabaikan dasar kepentingan dan latar belakang kekerasan yang tumbuh dalam dinamika masyarakat.
Karenanya, simplifikasi yang diambil dapat menafikan relasi-relasi sosial yang ada di belakangnya. Latar belakang fenomena kekerasan di masyarakat maupun polisi perlu dikaji secara komprehensif. Hal ini menunjukkan masih ada masalah yang perlu dibenahi untuk mengendalikan polisi dalam penggunaan kekerasan. Selama ini pengawasan terhadap pelaksanaan tugas polisi dapat dikatakan sangat lemah.
Pengawasan internal yang dilakukan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri belum berjalan optimal karena hambatan budaya polisi yang berkisar pada solidaritas (solidarity) dan kerahasiaan (secrecy). Solidaritas polisi mendorong ke arah semangat saling melindungi antar kawan meski bersalah. Sedangkan implikasi kerahasiaan adalah, sebagai institusi penegak hukum, polisi merasa tabu membuka aib anggota yang melanggar hukum, terutama pada strata petinggi polisi.
Kehadiran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagimana diamanatkan dalam Pasal 37 UU No 2/2002 tentang Polri sesungguhnya merupakan angin segar bagi mekanisme pengawasan dari masyarakat terhadap pelaksanaan tugas kepolisian. Jika selama ini polisi tanpa kontrol masyarakat secara formal dalam menjalankan tugas dan wewenang, maka dengan kehadiran Kompolnas, masyarakat diberi ruang untuk mengontrol pelaksanaan tugas polisi.
Namun dilihat dari fungsi dan wewenang yang dirumuskan dalam UU tersebut, ternyata Kompolnas hanya terbatas sebagai pembantu Presiden dalam memberikan saran dan mengumpulkan keluhan dari masyarakat. Hal ini sama saja dengan mengaburkan fungsi Kompolnas yang sebenarnya.
Apalagi jika dilihat dari struktur keanggotaan yang mendudukkan tiga menteri di dalamnya, harapan agar Kompolnas menjadi lembaga independen dan mampu mengontrol tugas-tugas polisi secara cermat, pupuslah sudah.
cnn/radarriaunet.com