RADARRIAUNET.COM - Mantan petinggi Lippo Group Doddy Aryanto Supeno didakwa memberi suap sebesar Rp150 juta untuk Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution untuk penanganan dua perkara anak usaha grup bisnis tersebut.
Hal itu terungkap dalam pembacaan surat dakwaan terhadap Doddy di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada hari ini.
Uang itu diberikan agar Edy menunda proses pelaksanaan putusan pengadilan. Hal itu berkaitan dengan perkara perdata yang melibatkan dua anak perusahaan Grup Lippo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Usai mendengarkan dakwaan dari jaksa penuntut umum, Doddy terlihat menangis. Sejumlah kerabat yang menemaninya langsung datang menghampiri dan memeluknya.
Terdakwa diketahui memberikan uang suap tersebut bersama sejumlah petinggi Grup Lippo lainnya yakni Eddy Sindoro, Hery Sugiarto, Ervan Adi Nugroho, dan Wresti Kristian Hesti.
"Terdakwa adalah pegawai PT Artha Pratama Anugerah yang merupakan anak perusahaan Lippo Group dengan Presiden Komisaris Eddy Sindoro," ujar Jaksa Penuntut Umum Fitroh Rohcayanto di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (29/6).
Dia menyatakan perkara yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu, melibatkan dua anak perusahaan Grup Lippo. Mereka adalah PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan PT Kwang Yang Motor Co, Ltd (Kymco) serta PT First Media melawan PT Across Asia Limited (AAL).
PT MTP tak memenuhi panggilan aanmaning atau peringatan pengadilan untuk melaksanakan putusan terkait dengan perkara perdata dengan PT Kymco. Eddy Sindoro kemudian memerintahkan Wresti untuk mengupayakan penundaan pemanggilan tersebut.
"Menindaklanjuti perintah itu, Wresti kemudian menemui Edy Nasution dan meminta penundaan yang disetujui Edy Nasution dengan imbalan sebesar Rp100 juta," kata jaksa.
Uang tersebut kemudian diperoleh dari Hery Soegiarto selaku Direktur PT MTP yang diberikan pada Edy melalui terdakwa di ruang bawah tanah Hotel Acacia pada Desember 2015.
Sementara itu, pada perkara PT AAL bermula dari putusan kasasi Mahkamah Agung yang menyatakan PT AAL pailit pada 7 Agustus 2015. Atas putusan kasasi tersebut, PT AAL memiliki waktu 180 hari untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Namun hingga batas akhir waktu tersebut, PT AAL tidak segera mengajukan PK. Jaksa menyatakan demi kredibilitas perusahaan yang tengah berperkara di Hong Kong itu, Eddy Sindoro kemudian kembali memerintahkan Wresti untuk mengupayakan pengajuan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Wresti menemui Edy Nasution dan meminta agar menerima pendaftaran PK PT AAL meski waktu pendaftarannya sudah lewat," ucap jaksa Fitroh.
Dalam dakwaannya disebutkan, Edy tidak bersedia lantaran waktu pengajuan PK sudah lewat. Namun Wresti kemudian menawarkan sejumlah uang pada Edy dan disepakati jumlah sebesar Rp50 juta.
Berkas PK perkara PT AAL kemudian dikirim ke MA pada Maret 2016. Jaksa juga menyatakan bahwa sebelum berkas perkara dikirim ke MA, Edy sempat dihubungi Sekretaris MA Nurhadi yang meminta agar berkas perkara PT AAL segera dikirim ke MA.
Singkat cerita, uang Rp50 juta itu diberikan Ervan melalui terdakwa kepada Edy di Hotel Acacia pada 20 April 2016. Tak lama setelah penyerahan uang itu, terdakwa dan Edy Nasution dicokok petugas KPK dengan barang bukti berupa tas kertas bermotif batik yang berisi uang Rp50 juta.
Atas perbuatannya, terdakwa diancam Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 65 ayat 1 juncto pasal 55 ayat 1 KUHPidana.
Atas dakwaan tersebut, tim kuasa hukum terdakwa mengajukan nota keberatan pada majelis hakim. Pembacaan eksepsi akan dilakukan pada sidang selanjutnya 11 Juli 2016.
Sebelumnya diketahui KPK telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Panitera Sekretaris PN Jakpus Edy Nasution dan pihak swasta yakni Doddy Aryanto Supeno. Dalam OTT tersebut KPK menyita uang sebanyak Rp50 juta.
Sekretaris MA Nurhadi juga diduga terseret dalam kasus ini. Dia diduga mengetahui suap yang dilakukan oleh Doddy terhadap Edy. KPK juga telah mencegah Nurhadi ke luar negeri dan menyita uang sebanyak Rp1,7 miliar serta dokumen di kediamannya.
Alex harefa/Cnn/RR-H24/Asa