RADARRIAUNET.COM - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hari ini memeriksa mantan Kepala Polres Jakarta Pusat Komisaris Besar Hendro Pandowo sebagai saksi dalam kasus dugaan kriminalisasi terhadap 26 aktivis buruh.
Dalam pemeriksaan tersebut, Hendro mengaku tak tahu soal penangkapan yang dilakukan Kepolisian pada massa buruh saat aksi unjuk rasa.
Dari 26 orang yang ditangkap, dua di antaranya berasal dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, yakni Obed Sakti dan Tigor Gempita. Sementara satu orang dari mahasiswa, yakni Hasyim Ilyas.
"Itu arahan di bawah komando saya untuk penangkapan. Tapi yang menangkap dari gabungan petugas reserse Polres Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya," ujar Hendro saat pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (6/6).
Hendro mengatakan tak melihat ada tindak kekerasan saat aksi unjuk rasa pada 30 Oktober 2015 itu. Menurutnya, penangkapan 26 buruh tersebut bermula dari aksi demonstrasi yang tak kunjung selesai pada pukul 18.00 WIB.
Padahal sesuai Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang penyampaian pendapat di muka umum, telah diatur unjuk rasa harus selesai pada pukul 18.00 WIB. Namun hingga batas waktu tersebut, massa buruh tak kunjung membubarkan diri.
"Dampaknya sangat luas karena kondisi lalu lintas macet dan sudah mengganggu ketertiban umum. Jadi kami tertibkan," kata Hendro.
Polisi saat itu langsung memberikan peringatan melalui pengeras suara agar massa membubarkan diri. Koordinator aksi massa sempat meminta perpanjangan waktu selama lima menit pada polisi untuk membubarkan diri. Namun hingga pukul 19.00 WIB massa tak kunjung bubar.
Maka, menurut Hendro, penangkapan massa buruh terpaksa dilakukan lantaran situasi saat itu sudah tidak kondusif.
"Akhirnya kami menyemprotkan water cannon, kemudian memberikan peringatan lagi sampai tiga kali untuk bubar," tutur Hendro.
Dalam pemeriksaan itu, kuasa hukum terdakwa juga memutar video sebagai bukti di depan Hendro selaku saksi. Dalam video ditunjukkan ketika polisi mulai menertibkan massa yang melakukan unjuk rasa hingga malam hari.
Pada video terlihat sejumlah anggota Kepolisian merusak mobil komando milik massa buruh. Menanggapi video tersebut, Hendro mengaku tak tahu lantaran dia ada di lokasi berbeda saat peristiwa terjadi.
Salah satu terdakwa dari LBH Jakarta, Obed, menuturkan ada perbedaan tafsiran aturan yang digunakam polisi dengan kuasa hukum massa buruh. Apabila polisi menggunakan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 sebagai dasar hukum untuk membatasi waktu unjuk rasa, maka kuasa hukum mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum.
Obed berkata, Pasal 13 ayat 1 huruf b UU Nomor 9 Tahun 1998 itu menyebutkan bahwa massa boleh melakukan aksi unjuk rasa hingga malam hari. Obed pun mengatakan telah berkoordinasi dengan Kepolisian untuk melakukan aksi unjuk rasa melebihi pukul 18.00 WIB.
"Sudah koordinasi dengan Kepolisian, dalam hal itu Kapolres. Tapi entah kenapa dia bilang tidak tahu," ucap Obed.
Selain itu polisi juga dituding melakukan kekerasan pada massa buruh dengan memukul, menendang, hingga menyeret massa agar segera membubarkan diri.
Obed termasuk yang ditangkap polisi lantaran saat kejadian dia merekam tindakan polisi yang melakukan aksi kekerasan pada sejumlah massa buruh menggunakan kamera digital.
Menurut Obed, polisi saat itu langsung mengejar dan memaksanya masuk ke dalam mobil pengendalian masyarakat untuk diamankan.
Saat itu, 30 Oktober 2015, ribuan buruh menggelar aksi unjuk rasa menuntut pemerintah mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015 yang berorientasi pada upah murah. Aksi itu berujung pada penangkapan polisi atas 26 aktivis buruh dengan sangkaan melakukan tindakan kekerasan.
cnn/radarriaunet.com