Kisah Lie si Dokter Gila Bersetia pada Korban Tragedi 1998
Lie A Dharmawan, dokter yang kerap membantu korban pemerkosaan Mei 1998, menerima ancaman: anak lelakimu masuk sekolah militer saja agar bisa jaga keselamatanmu. Cnn

Kisah Lie si Dokter Gila Bersetia pada Korban Tragedi 1998

Senin, 23 Mei 2016|14:25:51 WIB




RADARRIAUNET.COM - Lie A Dharmawan masih ingat jelas kejadian pada pertengahan Mei 1998. Kala itu rumah sakit tempatnya bekerja, RS Persada di Jakarta Barat, menerima pasien perempuan beretnis Tionghoa. Ia dalam kondisi fisik luka berat. 
 
Perempuan itu mengalami patah tulang di beberapa bagian tubuh. Giginya pun rontok. Lie sebagai dokter yang bertugas di RS Persada segera mengambil tindakan medis. 
 
Pasien dirawat selama dua hari. Pertama kali diterima pihak rumah sakit, perempuan itu enggan menceritakan kejadian yang ia alami. Dia menutup rapat pengalaman pahitnya.
 
Belakangan ketika kondisinya membaik secara fisik dan psikis, perempuan tersebut mulai bercerita tentang kejadian yang sesungguhnya. Itu pun setelah terjalin rasa saling percaya antara pasien dengan dokter.
 
Dia rupanya nyaris menjadi korban pemerkosaan di satu rumah yang terletak tak jauh dari RS Persada. Luka berat yang ia alami didapat ketika menghindari perlakuan biadab tersebut. Perempuan itu sengaja menjatuhkan diri dari lantai tiga rumah tersebut.
 
Dia dikepung rasa takut. Perempuan itu sempat berdiam diri di dalam rumah saat orang-orang brutal tak dikenal menyerbu. Mereka meneriakkan kata-kata yang membuatnya itu ketakutan.
 
“Saking takutnya untuk menyelamatkan diri, dia loncat dari jendela belakang,” kata Lie yang mendapat julukan ‘Dokter Gila’ awak media di Jakarta, pekan lalu.
 
Lie sadar, masa-masa gawat tengah menyerang kelompok rentan saat itu. Media banyak memberitakan kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, dan tindak kekerasan. Banyak warga Tionghoa jadi sasaran aksi pemerkosaan disertai kekerasan yang mengerikan.
 
"Mereka mengalami trauma yang diakibatkan kekerasan fisik, baik menggunakan senjata tajam atau senjata tumpul," ujar Lie.
 
Kisah kelam serupa dialami perempuan Tionghoa lainnya. Waktu kejadiannya tak berselang lama, pada medio Mei 1998 di sekitar Jembatan Lima, Jakarta.
 
Seorang gadis berusia belasan tahun dikejar-kejar sekelompok pria di tengah kerusuhan. Gadis Tionghoa itu hendak diperkosa. Dia melarikan diri hingga akhirnya bersembunyi di balik pintu.
 
Si gadis sangat ketakutan. Bahkan saat orang-orang berusaha menolongnya, gadis itu tak berani keluar dari tempat persembunyian. 
 
"Sekelompok orang menyerang dengan kata-kata kasar, mengarah pada pelecehan seksual. Gadis itu berlari dan menginjak pecahan kaca. Kakinya bonyok, tapi dia tak mau keluar dari persembunyiannya," ujar Lie.
 
Saat diperiksa Lie, kaki gadis itu terluka parah, bengkak dan bernanah. Dia memaksa berlari dalam kondisi telapak kaki tertusuk beling.
 
Jaga rahasia
 
Selama menangani sejumlah orang yang mengalami kasus kekerasan, ujar Lie, pasiennya tak pernah menyebut diri mereka sebagai korban pelecehan seksual.
 
Identitas korban selalu dirahasiakan. Lie menyatakan tak pernah menyerahkan data pasien kepada pihak lain selain yang bersangkutan. Pun data itu tak ia bagikan kepada Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) dan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 (TGPF). Lie terikat janji profesi.
 
"Saya disumpah untuk tidak menceritakan atau membongkar rahasia medis pasien saya kepada pihak manapun kecuali ada surat kuasa yang membebaskan saya dari kewajiban merahasiakan penyakit seseorang," kata Lie.
 
Anggota Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) itu juga mengatakan, selama ini tidak ada satupun pasiennya yang memberi izin tertulis untuk membagikan informasi terkait rekam medis mereka.
 
Lie yang kerap membantu para korban kekerasan seksual, tak ingat korban pertama yang ia tangani. Lie juga tak menghitung berapa jumlah korban kasus pelecehan seksual yang telah dia bantu.
 
"Bukan jumlah (bantuan terhadap korban) yang penting, tapi bahwa telah terjadi suatu peristiwa di mana ada pola tertentu yang dilakukan untuk menakut-nakuti kelompok masyarakat tertentu," kata Lie.
 
Ketika itu, kata Lie, tak ada seorang pun yang merasa bahwa kasus-kasus pemerkosaan terjadi secara spontan dan dilakukan oleh masyarakat kelas bawah.
 
Lie melihat kerusuhan dan pemerkosaan yang banyak membuat warga Tionghoa menjadi korban, bukan disebabkan oleh rasa cemburu akibat adanya kesenjangan sosial. 
Baca jugaKisah Candra saat Mei 98: Pulang Saja, Orang Tionghoa Diincar
Meski melihat pola sama terjadi di tempat berbeda kala itu, Lie tak tahu ada apa sesungguhnya di balik aksi kerusuhan dan pemerkosaan itu.
 
Lie hanya tahu banyak orang menderita, terluka, dan butuh bantuan serta perawatan dokter. Sebagai dokter, ia pun berusaha membantu para korban.
 
"Yang saya lakukan berdasarkan naluri seorang manusia, seorang dokter, memberi bantuan kepada mereka yang memerlukan uluran tangan kita. Soal apakah ada satu kejahatan terorganisir, saya enggak tahu sama sekali saat," kata Lie.
 
Beruntung persediaan obat-obatan dan kantong darah di rumah sakitnya selalu tercukupi. Banyak pula dokter lain yang tergabung dalam organisasi Ikatan Dokter Indonesia turun tangan membantu para korban.
 
Lie juga bergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Dia juga menjadi anggota Suara Ibu Peduli dari kelompok Kalyanamitra sebagai medium untuk membantu korban. 
 
Aktivitas Lie dalam memberikan bantuan medis kepada para korban kekerasan seksual bukan tanpa halangan. Dia tak jarang mendapat ancaman.
 
Lie sering menerima telepon dari orang tak dikenal pada tengah malam. Selain mengganggunya, isi pembicaraan telepon itu juga mengancam. Si penelepon mengetahui segala informasi mengenai keluarga Lie, mulai dari nama anak-istrinya, tempat tinggal, sekolah, hingga usia mereka. 
 
"Dia katakan anak saya yang satu, lelaki, sebaiknya kalau sudah lulus SMA suruh sekolah akademi militer saja agar bisa menjaga keselamatan ayahnya," ucap Lie.
 
Lie tak gentar. Dia malah aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemanusiaan.
 
Selain membantu para korban kasus kekerasan seksual, Lie sering bergabung dalam aksi mahasiswa menuntut tumbangnya rezim Soeharto. Dia mendirikan posko bantuan kesehatan di dekat kampus Unika Atma Jaya, Semanggi, Jakarta. 
 
"Saya mengawal dari belakang sebagai tenaga medis. Yang dijadikan ‘ambulans’ adalah mobil pribadi saya, Kijang waktu itu," kenangnya.
 
Lie bercerita, dalam setiap demonstrasi, ada saja korban jatuh, entah pingsan karena kelelahan atau karena kena pukulan.
 
Lie tak pilih-pilih dalam mengikuti aksi mahasiswa. Kelompok manapun dengan tujuan menjatuhkan Soeharto, dia ikuti.
 
"Pokoknya ada demonstrasi, saya ikut dan dalam waktu singkat kami (Lie dan para demonstran) bisa saling mengenal," kata Lie.
 
Pengalaman paling mencekam bagi Lie ialah ketika mengawal demonstrasi di sekitar Semanggi pada November 1998. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Tragedi Semanggi Satu. 
 
"Kalau kita nonton film perang di mana ada tembakan-tembakan. kita barangkali tidak punya rasa takut. Tapi pada malam itu ketika tembakan-tembakan datang dan kita lihat apinya, ada perasaan takut," kata dokter lulusan Universitas Res Publica itu (kini bernama Universitas Trisakti).
 
Lie sadar bukan seorang pemberani. Namun ia mampu mengelola rasa takut menjadi keberanian.
Baca juga:Kisah Mencekam Mugiyanto Korban Penculikan 1998 Dekati Maut
Keteguhan Lie membela para korban dan rakyat yang terpinggirkan berlanjut saat ia mendirikan organisasi kemanusiaan nirlaba doctorSHARE sebagai wadah untuk membantu masyarakat miskin dalam mengakses kesehatan berkualitas.
 
Lie memberikan pengobatan cuma-cuma tanpa pungutan biaya sepeser pun. Ia pun membuat Rumah Sakit Apung di atas perahu untuk berlayar ke daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia.
 
Misi Rumah Sakit Apung itu sama dengan doctorSHARE, yakni menyediakan pelayanan kesehatan gratis bagi mereka yang tak mampu. Itu juga sebabnya Lie dijuluki ‘Dokter Gila.’
 
 
 
RRN/Cnn/radarriaunet.com






Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NEWS

MORE

MOST POPULAR ARTICLE