RADARRIAUNET.COM - Polemik kasus pengampunan pajak yang terus bergulir akhir-akhir ini kepermukaan bumi, membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan keberatan dengan sejumlah poin dalam draf Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (RUU Tax Amnesty). Salah satunya adalah aturan yang dibentuk dengan tidak boleh dijadikannya data pengemplang pajak sebagai pintu masuk bagi penyelidikan, dengan alasan memberikan rasa aman bagi pengemplang pajak sehingga mau merepatriasi asetnya ke dalam negeri.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata memperkirakan sekitar 10 persen dari ribuan triliun dana yang diparkir pengemplang pajak di luar negeri merupakan hasil korupsi.
"Kalau dana yang didapat dari hasil korupsi ini kan seolah kami mengampuni perbuatan itu. Saya membacanya seperti ada pengampunan terhadap korupsi dalam tax amnesty ini," ujar Alexander di Gedung DPR, kemarin malam.
Poin lainnya ialah unsur rahasia yang harus dipegang seluruh penegak hukum. Pasal 22 ayat 2 dan 3 draf beleid itu mengatur, data wajib pajak dapat diberitahu kepada pihak lain atas seizin wajib pajak yang bersangkutan.
Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Mabes Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyatno menuturkan, ketentuan rahasia itu berpotensi tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Pasal 2a beleid itu mengatur, larangan itu tidak berlaku bagi pejabat atau tenaga ahli selaku saksi dalam pengadilan. Pasal 4 mengatur, Menteri Keuangan (Menkeu) dapat memberi izin tertulis kepada pejabat untuk memperlihatkan data wajib pajak demi kepentingan pemeriksaan di pengadilan.
Selain itu, kebijakan ini juga diduga tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. "Kewenangan PPATK dalam UU TPPU tidak dapat diterapkan dalam Pengampunan Pajak," tuturnya.
Senada dengan hal tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPidsus) Kejaksaan Agung Arminsyah menuturkan perlunya penegakan hukum yang tegas setelah diberlakukannya kebijakan Pengampunan Pajak. Sehingga, ini menjadi kesempatan terakhir wajib pajak menghindari pembayaran pajak di dalam dan luar negeri.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala PPATK M. Yusuf menilai kebijakan Pengampunan Pajak tidak boleh meniadakan proses pemberantasan dan penindakan terhadap tindak pidana korupsi. Namun, dia mengaku permasalahan ini membuat banyak pihak dilema, termasuk penegak hukum.
Menurutnya, perlu ada kepastian Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK tidak akan mengutak-atik data lengkap aset pengemplang pajak di luar atau dalam negeri.
"Kalau tidak ada declare, mereka (pengemplang pajak) akan maju mundur," ucap Yusuf.
Mendukung dengan Syarat
Meski menyoroti potensi ketidaksinkronan dengan sejumlah regulasi lainnya, Dwi Priyatno menyadari kebijakan pengampunan pajak bersifat lex specialis. Ini berarti hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
"Diharapkan seluruh stakeholder terkait UU itu dapat memahami keberadaan pemberlakuan tax amnesty," kata Dwi.
Senada dengan Dwi, Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif menuturkan, jajarannya mendukung pembahasan dan diberlakukannya kebijakan ini karena berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Namun, dia meminta agar DPR bersama pemerintah mengatur secara tegas pembatasan waktu berlakunya undang-undang ini. Termasuk aturan larangan dijadikannya data sebagai bukti awal penyelidikan.
"Maka KPK tidak bisa menolak. Itu memang harus kami dukung," ucap Laode.
Kejaksaan bahkan mendukung dipercepatnya pembahasan kebijakan ini. Irwansyah menuturkan, percepatan perlu dilakukan karena rencananya tax amnesty hanya berlaku sampai Desember 2016.
Namun, dia mengimbau, Direktorat Jenderal Pajak menyiapkan data base yang akurat dan komprehensif. Menurutnya, itu syarat utama pemberlakuan kebijakan pengampunan pajak.
"Supaya simultan, konsisten, dan diberlakukan secara efektif," tutur Irwansyah.
lex/cnn/dw/tm