Kamis, 30 Juli 2020|00:04:01 WIB
RADARRIAUNET.COM: Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir mengkritisi upaya peninjauan kembali (PK) yang dilakukan kejaksaan. Kritik ini disampaikan Mudzakir menanggapi PK yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) atas terpidana perkara korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra.
Menurut Mudzakir, jaksa mengajukan PK karena presedennya pernah terjadi. Namun, upaya PK itu untuk kepentingan korban, terdakwa, atau terpidana. Artinya, JPU mengajukan PK karena ada putusan yang melupakan hak dan kepentingan korban.
Mengutip laman medcom, "Itu (PK) bisa dilakukan jaksa untuk kepentingan korban. Maka, dengan PK itu, putusan pengadilan akan diluruskan kembali agar sesuai dengan prinsip on the track keadilan dalam rangka pengambilan keputusan. Sebaliknya, jika alasan PK menguntungkan kepentingan jaksa maka itu tidak bisa," tutur Mudzakir, Kamis, 30 Juli 2020.
Menurut dia, kesempatan akhir PK itu milik terdakwa atau terpidana. Hal ini mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Jika jaksa mengajukan PK untuk kepentingannya, maka langkah tersebut tentu cacat hukum," kata salah satu perumus rancangan KUHP ini.
Dalam proses penanganan perkara di pengadilan, JPU telah diberi kesempatan membuktikan dakwaannya mulai dari tingkat pertama (pengadilan negeri) hingga Mahkamah Agung (MA). Jika dalam proses tersebut JPU tidak dapat membuktikan dalilnya sebagaimana yang didakwakan, maka upaya JPU berhenti sampai di situ.
"Azas prinsipnya tidak boleh ada PK lagi karena jaksa sudah diberikan kesempatan sejak pengadilan tingkat pertama hingga MA," ujar Mudzakir.
Mudzakir menambahkan ruang kewenangan bagi jaksa mengajukan PK tidak dibuka lagi jika bertujuan memberatkan terdakwa atau terpidana. Terkecuali bermaksud meringankan terdakwa atas kesalahan jaksa.
Hal itu ditegaskan pada Pasal 3 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Kedua pasal itu bermakna bahwa jaksa dilarang mengajukan PK terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Selain itu, yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau keluarga ahli warisnya.
Yang terjadi, kata dia, PK oleh JPU justru diterima dan dikabulkan Mahkamah Agung dengan putusan 12 PK/Pid.Sus/2009 11 Juni 2009. Amar putusan PK itu sendiri berbunyi mengabulkan permohonan PK oleh JPU pada Kejaksaan Negeri Jakarta.
Seperti diketahui, bahwa dalam kasus cessie Bank Bali, PN Jakarta Selatan lewat putusan no 156/Pid.B/2000/PN Jak.Sel melapaskan Djoko Tjandra dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtsvervolging) alias bebas murni.
Bahkan, putusan tersebut diperkuat dengan putusan MA Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 dengan amar putusan “menolak permohonan kasasi dari JPU pada Kejari Jakarta Selatan."
RRN/medcom/Lex Hrf