Senin, 20 Agustus 2018|23:24:35 WIB
Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menanggapi pidato Ketua MPR RI Zulkifli Hasan terkait utang negara pada sidang tahunan MPR RI di Gedung Parlemen, 16 Agustus 2018. Lewat akun Facebook yang diunggah Senin pagi, 20 Agustus 2018, Menkeu mengatakan, apa yang diungkap Zulkifli penuh muatan politik.
Menurut Menkeu, parapan Zulkifli bahwa besar pembayaran pokok utang Pemerintah yang jatuh tempo 2018 sebesar Rp400 triliun, atau tujuh kali lebih besar dari Dana Desa dan enam kali lebih besar dari anggaran kesehatan, menyesatkan. "Pernyataan tersebut, selain bermuatan politis, juga menyesatkan," tulis Menkeu di aku Facebook-nya.
Menkeu menjelaskan; Pertama, pembayaran pokok utang 2018 sebesar Rp396 triliun, dihitung berdasarkan posisi utang per akhir Desember 2017. Dari jumlah tersebut 44 persen adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 (Sebelum Presiden Jokowi). "Ketua MPR saat ini adalah bagian dari kabinet (pemerintahan) saat itu," sambung Menkeu.
Sementara itu, tambah Menkeu, 31,5 persen pembayaran pokok utang adalah untuk instrumen SPN/SPN-S yang bertenor di bawah satu tahun yang merupakan instrumen untuk mengelola arus kas (cash management). Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan.
Poin kedua, kata Sri, karena Ketua MPR menggunakan perbandingan, mari kita bandingkan jumlah pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan dan anggaran Dana Desa. "Jumlah pembayaran pokok utang Indonesia 2009 adalah Rp117,1 triliun, sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp25,6 triliun. Jadi perbandingan pembayaran pokok utang dan anggaran kesehatan adalah 4,57 kali lipat. Pada 2018, pembayaran pokok utang adalah Rp396 triliun sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp107,4 triliun, atau perbandingannya turun 3,68 kali. Artinya rasio yang baru ini sudah menurun dalam sembilan tahun sebesar 19,4 persen," ungkapnya.
Bahkan di 2019 anggaran kesehatan meningkat menjadi Rp122 triliun atau sebesar 4,77 kali anggaran 2009, dan rasionya mengalami penurunan jauh lebih besar lagi, yakni 26,7 persen. Di sini anggaran kesehatan tidak hanya yang dialokasikan ke Kementerian Kesehatan, tapi juga untuk program peningkatan kesehatan masyarakat lainnya, termasuk DAK Kesehatan dan Keluarga Berencana.
"Mengapa pada saat Ketua MPR ada di kabinet dulu tidak pernah menyampaikan kekhawatiran kewajaran perbandingan pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan, padahal rasionya lebih tinggi dari sekarang? Jadi ukuran kewajaran yang disebut Ketua MPR sebenarnya apa?" jelasnya.
Kenaikan anggaran kesehatan hingga lebih empat kali lipat dari 2009 ke 2018 menunjukkan pemerintah Presiden Jokowi sangat memperhatikan dan memprioritaskan pada perbaikan kualitas sumber daya manusia.
"Ketiga ketua MPR juga membandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa. Karena dana desa baru dimulai 2015, jadi sebaiknya kita bandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa 2015 yang besarnya 10,9 kali lipat," jelasnya.
Pada 2018 rasio menurun 39,3 persen menjadi 6,6 kali, bahkan di 2019 menurun lagi hampir setengahnya menjadi 5,7 kali. Artinya kenaikan dana desa jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan pembayaran pokok utang. Lagi-lagi tidak ada bukti dan ukuran mengenai kewajaran yang disebut Ketua MPR.
"Jadi arahnya adalah menurun tajam, bukankah ini arah perbaikan? Mengapa membuat pernyataan ke rakyat di mimbar terhormat tanpa memberikan konteks yang benar? Bukankah tanggung jawab pemimpin negeri ini adalah memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat dengan memberikan data dan konteks yang benar," paparnya.
Sri juga mengatakan, poin keempat yang harus dicatata adalah pemerintah terus melakukan pengelolaan utang dengan sangat hati-hati (pruden) dan terukur (akuntabel). Defisit APBN selalu dijaga di bawah tiga persen per PDB sesuai batas UU Keuangan Negara. Defisit APBN terus dijaga dari 2,59 persen per PDB di 2015, menjadi 2,49 persen di 2016, dan 2,51 persen di 2017.
"Dan 2018 diperkirakan 2,12 persen, serta 2019 sesuai Pidato Presiden di depan DPR akan menurun menjadi 1,84 persen. Ini bukti tak terbantahkan bahwa pemerintah berhati-hati dan terus menjaga risiko keuangan negara secara profesional dan kredibel. Ini karena yang kami pertaruhkan adalah perekonomian dan kesejahteraan serta keselamatan rakyat Indonesia," ujarnya.
Kelima, kata dia, defisit keseimbangan primer juga diupayakan menurun dan menuju ke arah surplus. Pada 2015 defisit keseimbangan primer Rp142,5 triliun, menurun menjadi Rp129,3 triliun (2017) dan 2018 menurun lagi menjadi defisit Rp64,8 triliun (outlook APBN 2018). Pada 2019 direncanakan defisit keseimbangan primer menurun lagi menjadi hanya Rp21,74 triliun, sekali lagi menunjukkan bukti kehati-hatian pemerintah dalam menjaga keuangan negara menghadapi situasi global yang sedang bergejolak.
"Apakah ini bukti ketidak-wajaran atau justru malah makin wajar dan hati-hati?" tanya dia.
Poin selanjutnya, Sri menjelaskan selama 2015-2018, pertumbuhan pembiayaan APBN melalui utang justru negatif, artinya penambahan utang terus diupayakan menurun seiring dengan menguatkan penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak. Bila 2015 pertumbuhan pembiayaan utang adalah 49,0 persen karena pemerintah melakukan pengamanan ekonomi dari tekanan jatuhnya harga minyak dan komoditas lainnya, 2018 pertumbuhan pembiayaan utang justru menjadi negatif 9,7 persen.
Ini karena pemerintah bersungguh-sungguh untuk terus meningkatkan kemampuan APBN yang mandiri. Ini juga bukti lain bahwa pemerintah sangat berhati-hati dalam mengelola APBN dan kebijakan utang. "Hasilnya? Pemerintah mendapat perbaikan rating menjadi “investment grade” dari semua lembaga pemeringkat dunia sejak 2016. Jadi siapa yang lebih berkompeten menilai kebijakan fiskal dan utang pemerintah wajar atau tidak?" jelasnya.
Terakhir, Sri menjelaskan bahwa APBN adalah instrumen untuk mencapai cita-cita bernegara, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta makin mandiri. "Komitmen dan kredibilitas pengelolan APBN ini sudah teruji oleh rekam jejak pemerintah selama ini. Mari cerdaskan rakyat dengan politik yang berbasis informasi yang benaran akurat," tutupnya.
Kritik Ketua MPR
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan sebelumnya meminta Menkeu Sri Mulyani menjelaskan tentang utang Republik Indonesia kepada Presiden Joko Widodo dengan terang. Menurutnya, Menkeu harus berhati-hati dan jangan ada yang disembunyikan soal utang.
"Sampaikan apa adanya, jangan ada yang disembunyikan," ujar Zulhas sapaan akrabnya itu kepada sejumlah jurnalis di komplek DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Senin, 20 Agustus 2018.
Dia menyebutkan, banyak infrastruktur yang sudah ditunda. Padahal itu adalah program andalan presiden. "Sekarang sudah dimoratorium. Artinya bermasalah kan? Sekarang ada 500 item enggak bisa impor, itu tandanya sudah bermasalah juga," ungkap Zulhas.
Dia menambahkan apa pun yang disampaikan oleh sejumlah pihak harusnya diterima, karena itu merupakan masukan. "Jangan menyalahkan yang lalu. Enggak bisa dong kita menyalahkan yang lalu. Kewajiban pemerintah sekarang untuk menyelesaikan persoalan yang ada saat ini," tandas Zulhas.
Ahl/mtvn